Oleh: R. Rido Ibnu Syahrie
TULISAN singkat ini berdasarkan empiris saya yang hampir 5 tahun meliput berita di Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian (di era dimana sosmed belum ada) dan koran harian menjadi watchdog kala itu. Akibat penugasan di desk 3 institusi yang biasa dikenal sebagai lembaga criminal justice system itu, akhirnya saya menyukai berita berbau hukum lebih kurang 20 tahun.
Sekarang ini, riuh soal tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara penyiraman air keras kepada penyidik KPK mas NB, adalah rangkaian persidangan di PN Jakarta Utara yang masuk tahap tuntutan alias belum vonis.
Banyak pihak menilai adanya kejanggalan dari tuntutan atas penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, malah korbannya cacat permanen pada bagian mata. Kok dua pelakunya hanya dituntut 1 tahun? begitulah kira-kira pertanyaan para netizen di statusnya.
Pertanyaan itulah yang dahsyat di era sekarang, sebab netizen berperan menjadi watchdog meski terkadang sering multitafsir lantaran tidak mengikuti sidang, wawancara dan konfirmasi seperti layaknya kerja jurnalis.
Saya justru tidak begitu tertarik dengan tuntutan yang dibuat jaksa berkutat di Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Saya juga tidak mau tahu track record si jaksa, seperti halnya apatis apakah di tahap dakwaan menggunakan dakwaan tunggal atau subsideritas, atau bahkan dakwaannya obscure libel, ah…bodo amat.
Ini lantaran sistem persidangan kita pake anglo saxon buka eropa kontinental, maklumlah lama dijajah Belanda. Fokus saya justru pada hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Setahu saya tiga hakim bisa saja mengabaikan tuntutan jaksa dan fokus pada fakta persidangan.
Bahkan adakalanya “hanya berdasarkan keyakinan si hakim” justru vonisnya lebih tinggi dari tuntutan. Terlebih lagi sudah menjadi sorotan publik. Soal ini para pengacara terdakwa lebih tahu dan kerap jantungan menjelang sidang putusan perkara atau vonis.
Hakim memang tidak bisa diintervensi oleh apapun dan siapapun. Tetapi pemutus keadilan itu setidaknya harus menerapkan social justice dan materiil justice. Yang celaka itu justru kalau ada dissenting opinion. Dua hakim memutus ringan dan satu hakim memutus dengan hukuman tinggi.
Nah…otak publik yang salahsatunya diwakili para netizen setidaknya paham derita yang dirasakan mas NB, sehingga tak mau pelakunya dituntut dan kemudian divonis ringan. Inilah salahsatu instrumen social justice.
So..what…teruslah berkicau menjadi watchdog, tapi jangan dulu nyinyir kepada Presiden, kan belum tahap vonis. Saya memang tidak memilih pak Jokowi tapi saya mesti objektif.
Terpenting sebetulnya pengungkapan dibalik peristiwa penyiraman air keras kepada mas NB terkait dirinya yang gencar menghajar kasus korupsi. Benarkah ada ketidakberesan di tubuh KPK, apakah ada sentimen lintas sektoral lembaga penegakkan hukum, apakah ada upaya serangan balik para koruptor kakap, siapa aktor sesungguhnya dan segudang pertanyaan lainnya.
Selamat Mengawasi Hakim.
*Penulis: Veteran Jurnalis
Discussion about this post