
– Koalisi Organisasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil menyampaikan laporan kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menolak segala ancaman terhadap hak masyarakat adat di Kalimantan.
Hal tersebut disampaikan pada Konferensi Pers Bersama di Hotel Golden Tulip Pontianak, pada Sabtu (24/10/2020).
Sebanyak 14 organisasi Masyarakat Adat dan HAM di Indonesia bersama Forest Peoples Programme pada tanggal 9 Juli 2020, telah menyampaikan laporan kepada Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (UN-CERD), yang meminta agar Komite tersebut mempertimbangkan situasi masyarakat adat Dayak dan masyarakat adat lainnya di Kalimantan, Indonesia, di bawah prosedur peringatan dini dan tindakan segera Komite CERD.
“Laporan ini menyoroti kerugian-kerugian besar yang menimpa masyarakat adat untuk pembangunan jalan, perkebunan dan pertambangan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia, yang semuanya membawa ancaman kerusakan segera, besar dan tidak dapat diperbaiki terhadap orang Dayak dan masyarakat adat lainnya di wilayah tersebut,” ungkap Nikodemus Ale, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, salah satu anggota Koalisi Organisasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil.
Daerah perbatasan ini kebetulan juga adalah wilayah leluhur dari 1-1,4 juta masyarakat adat Dayak. Beberapa komunitas telah dipindahkan secara paksa dan diperkirakan 300.000 warga adat lainnya terancam penggusuran.
Di Kalimantan Timur, sebagai contoh, antara tahun 2012 dan 2016, luas lahan yang diperuntukkan untuk perkebunan kelapa sawit meningkat sebanyak 36 persen dan kabupaten-kabupaten penghasil kelapa sawit terbesar berada di wilayah perbatasan. Sementara itu jumlah konflik tanah yang tercatat meningkat sangat besar.
Salah satu contohnya adalah konflik yang terjadi antara perusahaan kelapa sawit, PT Ledo Lestari dengan masyarakat Dayak Iban Semunying di Kabupaten Bengkayang, dimana puluhan keluarga telah dipindahkan, ditempatkan di ‘kamp perusahaan’, hutan dan tanah adat mereka diambil alih perusahaan.
Laporan situasi di Kalimantan Timur sama buruknya. Dalam 16 tahun terakhir, perkebunan kelapa sawit telah meluas dari 117.000 hektar menjadi 1,2 juta hektar. Selain itu, saat ini, 71 persen hutan di Kalimantan Timur telah berada di tangan perusahaan kehutanan, yaitu sekitar 5,9 juta hektar, dan area ini mencakup 642 desa adat.
“Di Kabupaten Mahakam Ulu, sebagai contoh, ada dua puluh konsesi penebangan yang tersebar di Mahakam Ulu, termasuk satu konsesi yang mencakup sekitar 13.000 hektar tanah leluhur masyarakat adat Dayak Bahau Busaang dari Long Isun. Warga di Long Isun tidak diberitahu sama sekali mengenai masalah ini sampai kegiatan kehutanan dimulai di salah satu area tanah mereka pada tahun 2014,” ujar Yohana Tiko, Direktur Walhi Kalimantan Timur.
Ketika warga mengeluh, lanjutnya, mereka dihadapkan dengan intimidasi dan kriminalisasi. Perwakilan desa ditangkap dan seorang aktivis terkemuka masyarakat dipenjara selama lebih dari tiga bulan.
“Meskipun berbagai instansi pemerintah mengetahui situasi ini, perusahaan terus beroperasi tanpa hukuman,” ujarnya.
Pengabaian negara Indonesia terhadap kewajiban internasionalnya dalam hal ini tidak dapat dibiarkan terus dan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan yang telah terjadi dan yang akan terus meluas dan meningkat mengundang dan memaksa adanya pengawasan dan tindakan internasional.
“Sudah saatnya bagi Komite CERD PBB untuk mengambil keputusan resmi dan merekomendasikan agar Indonesia segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan penghormatan dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia,” harap Koalisi Organisasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil. (Ndi)
Discussion about this post