– Baru-baru ini pemerintah menurunkan harga tes PCR menjadi Rp275 ribu untuk Jawa Bali dan Rp300 ribu di luar Jawa Bali. Pengumuman itu menggembirakan sekaligus mengejutkan.
Gembira karena turun harga. Terkejut karena membayangkan keuntungan banyak pihak ketika harga PCR Rp500 ribu, Rp900 ribu atau di awal pandemi Covid-19 yang mencapai di kisaran Rp1,5 hingga Rp2 juta.
“Saat Rp500 ribu saja, keuntungan sudah bisa 150 persen. Padahal kami di Riau, selalu harus PCR untuk keluar masuk ke Jawa atau provinsi lain, ini tentu menjadi pertanyaan besar dan membuat kita bingung, khususnya warga Riau,” kata Senator asal Riau, Edwin Pratama Putra melalui siaran persnya diterima Jurnalis.co.id Rabu (03/11/2021).
Apalagi, lanjut dia, setelah diungkap menggambarkan secara lengkap pihak-pihak yang meraup keuntungan dari bisnis yang mewajibkan rakyat tersebut.
“Tergambar adanya regulator yang juga bisnis, ini tentu sudah bisa masuk kategori trading influence. Dimana patut diduga ada kolaborasi antara pemburu rente dengan pembuat kebijakan,” tandas pimpinan Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI.
Edwin mengungkapkan, dulu ketika awal pandemi, harga masker juga sempat dimainkan dengan harga yang sangat tinggi. Sehingga rakyat yang dipaksa memakai masker, harus merogoh kocek kemahalan yang luar biasa.
“Tetapi waktu itu polisi melakukan operasi dan menangkap beberapa pedagang dan penimbun. Tetapi terhadap bisnis rapid test hingga PCR, polisi dan aparat hukum tidak bergerak. Menurut saya, sekarang harus bergerak. Selamat bekerja untuk KPK dan Kepolisian, kami rakyat menunggu,” imbuhnya.
Seperti diberitakan, komponen penentuan harga pemeriksaan PCR adalah, jasa dokter, tenaga lab, tenaga ATLM, jasa pengambilan spesimen. Kedua, komponen alat medik habis pakai (hazmat, masker N95, cover kepala, dan lainnya). Ketiga, komponen reagen. Keempat, biaya operasional termasuk administrasi. Dan kelima, keuntungan.
Dari catatan Indonesia Corruption Watch, sejak awal Pandemi hingga penurunan harga bulan lalu, keuntungan yang diraup pengusaha di bisnis ini mencapai sekitar Rp10,4 triliun.
Dijelaskan Edwin, pihaknya sebagai pimpinan BAP banyak menerima keluhan dan kekecewaan publik terkait masalah ini. Sehingga sudah sewajarnya skandal ini harus diusut. Apalagi fakta penurunan harga bisa terjadi dari angka tertinggi di kisaran Rp2 juta sampai ke Rp300 ribu.
Kedua, patut diduga adanya keterlibatan beberapa regulator dalam bisnis ini, sehingga ada konflik kepentingan, atau minimal trading influence. Padahal dalam situasi pandemi, regulator wajib menetapkan harga atau melayani rakyat di tengah pandemi.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi telah melakukan koreksi atas UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang imunitas penyelenggara negara dalam belanja penanganan Covid dan pemulihan ekonomi. Sehingga sudah bisa diusut.
“Jadi sekali lagi, saya menyampaikan selamat bekerja kepada KPK dan Kepolisian serta Kejaksaan, kami, rakyat yang patuh terhadap aturan protokol kesehatan, menunggu kerja anda,” pungkas Edwin. (Rga)
Discussion about this post