Oleh: Ade Muhammad Iswadi*
‘Daerah tutupan berkurang dan alih fungsi lahan tentu ada penyebabnya. Namun jika ada yang mengatakan Sawit dan PETI sebagai penyebab utama perlu juga dikaitkan dengan pengalaman Sintang banjir tahun 1963 yang jauh lebih besar daripada saat ini dan berlangsung lebih lama dari saat ini tidaklah disebabkan oleh sawit dan PETI yang belum ada pada saat itu’
TANGGAL 20 Nopember 2021, sejumlah warga korban banjir yang mengungsi baik di Posko, sekolah, rumah ibadah, bangunan pemerintah, kebun, lanting, jamban, hingga membuat tenda di tanah kuburan mulai kembali ke rumah karena debet air sudah turun 1-2 meter sejak sebulan lalu.
Mereka mulai membersihkan lumpur dari rumah masing hingga melakukan perbaikan dan membersihkan perabotan.
Berkurangnya Chatchmen Area (Daerah Tangkapan Air/DTA) seiring terjadinya deforestasi dan alih fungsi lahan dimana Sintang yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas diklaim sebagai wilayah paling terpengaruh karena menyambut kiriman dari 3 sub DAS, yaitu Kapuas Hulu, Melawi, dan Ketungau.
Ketiga sub DAS tersebut memiliki DTA seluas 3,66 juta Ha dengan rincian Kapuas Hulu yang meliputi penggunaan Muller seluas 1,86 juta Ha, Melawi yang meliputi pegunungan Schwaner seluas 1,67 juta Ha, dan Ketungau seluas 117 ribu Ha.
Di Kapuas Hulu 91% masih bertutupan hutan, di Melawi 69% masih bertutupan hutan, dan Ketungau 60% masih bertutupan hutan.
Jika dilihat dari data Kapuas Hulu tentu lebih baik dibanding kondisi Melawi dan Ketungau. Praktis mestinya jika intensitas hujan tinggi dan berkepanjangan Melawi dan Ketungau paling menjadi penyumbang tumpahnya air hujan ke sungai sehingga menjadi meluap dengan cepat dan itu akibat DTA berkurang.
Kawasan-kawasan di daerah Melawi dan Ketungau akan terdampak dan Sintang selalu menjadi penampungnya. Bagaimana dengan Kapuas Hulu, karena memiliki DTA baik mestinya saat intensitas hujan tinggi dan lama air tidak banyak terbuang ke sungai, namun faktanya Kapuas Hulu juga mengalami sering banjir yang cukup parah.
Bagaimana dengan prediksi BMKG? Badai La nina sebagai efek dari anomali iklim menjadi akibat dan penyebab terjadinya curah hujan dengan intensitas yang sangat ekstrim seperti yang terjadi sekitar dalam sebulan terakhir ini di daerah kita hingga mencapai lebih dari 100 mm perhari dan tentunya berpotensi besar menyebabkan banjir di daerah Sintang.
Kondisi banjir di DAS Kapuas dan Sub DAS diperparah lagi karena bersamaan dengan naiknya permukaan aik laut. Dimana kenaikan air laut secara maksimal juga dampak dari badai LaNina tadi. Sehingga air laut masuk ke sungai-sunhai mendesak air sungai balik ke hulu. Dan ini kita rasakan di bagian hulu air sungai naik namun turunnya sangat lama.
Jika melihat kondisi dari pengalaman lalu dan kondisi beberapa tahun belakangan serta kondisi terkini, memang sepertinya perlu ada kajian dan adanya solusi adaptasi dan mitigasi karena Sintang khususnya akan tetap menghadapi situasi banjir.
Pengendalian data dan informasi terkait bencana banjir secara komprehensif baik tempat, kondisi wilayah, jumlah KK/jiwa/anak-anak/rumah dan lainnya yang relevan perlu dibuatkan semacam sistem yang secara pakem ia akan menjadi baseline untuk upaya solusi adaptasi dan mitigasi terkait bencana banjir. Early warning system juga harus menjadi sebuah menu yang kapan saja diperlukan selalu tersedia secara update.
Kembali lagi kepada perkara adanya perkebunan sawit dan PETI. Dengan kondisi yang ada, keduanya bukan faktor utama sebenarnya tapi bisa kita katakan turut memperparah kondisi saja. Sebagai contoh lahan sawit yang terlalu luas merusak chatchmen area (daerah tangkapan air), sedangkan PETI bisa menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai akibat banyaknya sedimen dan lumpur yang mengendap di dasar sungai dan tentunya juga akan menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai.
Sekali lagi, jika kita kembali lagi pada kejadian banjur besar tahun 1963, dan hanya sawit dan Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) dikatakan penyebab utama saat itu kebun sawit dan PETI belum ada. Tapi tentunya perkebunan sawit dan PETI tetap ada andil dalam kerusakan DAS Kapuas dan Sub DAS.
Perkebunan sawit dan PETI dapat kita katakan berperan mempercepat proses terjadinya banjir jika hujan ekstrem terjadi dalam waktu yang lama. Dimana perkebunan sawit akan mempengaruhi kurangnya daya serap tanah terhadap limpahan air hujan, sedangkan PETI menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai.
Jadi kalau boleh menyampaikan saran pendapat, ada baiknya perkebunan sawit dikurangi atau ada semacam solusi bagaimana agar DTA tetap ada di tengah perkebunan dan CSR juga bisa digunakan untuk kajian solusinya.
Terkait PETI baik di darat maupun di sungai perlu untuk diperhatikan secara komprehensif karena menyangkut banyak pertimbangan namun perlu segera diatasi sesuai dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah sebagai rujukannya dengan diawali dialog multipihak untuk mencari kesepahaman bersama.
Solusi lain untuk peninggian jalan seperti yang baru dimulai sebelum banjir terjadi itu juga baik namun tidak semuanya dapat dilakukan.
Masyarakat cukup banyak yang sudah beradaptasi dengan kondisi banjir, namun jika yang terjadi seperti saat ini semuanya di luar dugaan.
Oleh karena itu upaya mitigasi secara serius dan terencana perlu dilakukan agar risiko yang terjadi akan berkurang. Bersyukur kita di Sintang, banyak dukungan dilakukan relawan kemanusiaan selain unsur pemerintahan, kepolisian dan TNI seperti dari organisasi baik keagamaan, sosial, maupun organisasi masyarakat sipil bahkan perorangan termasuk partai politik, rekan-rekan pers sehingga mengundang perhatian para elit di pusat termasuk Presiden RI.
Bantuan datang di saat Sintang memanggil. Salam Lestari. (*)
*Penulis: Tokoh Pemuda Sintang/Relawan
Discussion about this post