JURNALIS.co.id – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ketapang, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) hingga kini terus melakukan penyelesaian pembangunan rumah adat.
Di tahun 2022, Disbudpar Ketapang kembali menganggarkan lanjutan pembangunan rumah adat dayak Kecamatan Sungai Laur dan finishing rumah adat melayu Kecamatan Sandai.
Kepala Disbudpar Ketapang, Absolon mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk terus menyelesaikan pembangunan rumah adat yang ada di Kabupaten Ketapang.
“Pembangunan menyesuaikan kemampuan keuangan daerah. Makanya kita bertahap menyelesaikan pembangunan rumah adat yang sudah dalam proses pembangunan,” katanya, Selasa (15/02/2022).
Absolon menyebut, kalau rumah adat sendiri sangat penting, selain dinilai sebagai simbol budaya juga tentunya merupakan tempat berkumpul dan melaksanakan aktivitas positif hingga menjadi ikon daerah.
“Untuk tahun ini yang sudah dianggarkan pembangunannya, yakni rumah adat dayak Sungai Laur dan finishing rumah adat melayu di Sandai,” tuturnya.
Meski keberadaannya dinilai penting, namun dalam pelaksanaannya, ia menegaskan harus sesuai prosedur. Mulai dari perencanaan, penganggaran hingga pembangunan yang di dalamnya termasuk mengenai aset tanah lokasi pembangunan.
“Pembangunan rumah adat ini ada yang dengan sistem ganti rugi lahan atau pembelian sesuai prosedur yang ada. Jadi tidak mungkin ada pembangunan menyerobot lahan atau tanah warga tanpa ganti rugi,” tuturnya.
Ia mengaku, saat ini masih ada pembangunan rumah adat yang bakal menjadi ikon daerah, namun belum rampung. Di antaranya rumah adat melayu, rumah adat jawa dan rumah adat dayak.
Bahkan, sambung dia, pihaknya juga sedang merencanakan pengadana tanah untuk pembangunan rumah adat Madura dan rumah budaya Tionghoa.
Dijelaskan dia, untuk rumah adat dayak memerlukan biaya sebesar Rp15 miliar dan mulai dibangun pada tahun 2014 lalu hingga saat ini. Progres pembangunannya baru sekitar 80 persen.
Penganggarannya, memang tidak setiap tahun dianggarkan, sehingga pembangunan belum selesai. Tetapi saat ini rumah adat dayak tersebut sudah digunakan untuk berbagai kegiatan dan sebagai sekretariat Dewan Adat Dayak (DAD) dan ormas-ormas Dayak seperti GDN, PPD, TTBR dan PDKK.
Ia menarget, tahun 2024 selesai sembari melihat kondisi keuangan. Yang terpenting untuk lahan atau tanahnya tidak ada masalah.
“Sebab pembebasan lahan dilakukan tahun 2010 dengan cara ganti rugi pemilik tanah bernama Salman dengan dasar atas hak tanah sertifikat nomor 280/Mulia Baru 18 Agustus 2004 dengan luas 15.960 m2. Sampai saat ini tidak ada yang menggugat, artinya kita tinggal fokus menyelesaikan pembangunan fisik,” jelasnya. (lim)
Discussion about this post