
JURNALIS.co.id – Kuasa hukum terdakwa Habib Alwi Al-Munthohar dan Habib Salim Achmad menilai ada kejanggalan saat sidang perdana pemeriksaan saksi korban Syukur serta dua dari BPN Kota Pontianak. Pasalnya, para saksi belum ada mengungkap persoalan pidana pemalsuan atas SHM tanah Barito seluas 7200 di Jalan Tanjungpura, Kecamatan Pontianak Selatan.
Sidang dipimpin hakim ketua, Ahmad Fijiarsyah Joko Sutrisno, didampingi dengan dua hakim anggota, Kurnia Dianta Ginting dan Moh Nor Azizi berlangsung pada Selasa (10/05/2022). Sidang menghadirkan tiga orang saksi dari jaksa penuntut umum (JPU). Saksi pelapor Syukur dalam keterangannya hanya mendengar cerita dari Andi Widjianarko anak dari Bambang Widjanarko mengenai sengketa tanah milik orang tuanya saja.
“Jadi Andi Widjanarko menceritakan kepada Syukur, jika sembilan lembar sertifikat milik orang tuanya (Bambang Widjanarko, red) yang berada di samping Jalan Barito, telah digugurkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) lantaran dimenangkan oleh dua klien kami, bahkan sampai inkcract di Mahkamah Agung,” terang Bayu Sukmadiansyah dari Kantor Hukum Syarif Kurniawan selaku kuasa hukum Habib Alwi Al-Munthohar dan Habib Salim Achmad, Rabu (11/05/2022).
Syukur merupakan karyawan Bambang Widjanarko. Dia diminta pihak keluarga Bambang Widjanarko untuk membuat laporan ke Mabes Polri. Pada 13 Februari 2019, hanya berdasarkan cerita Andi Widjanarko saja, Syukur membuat laporan secara lisan ke Mabes Polri atas dugaan pemalsuan buku tanah dengan membawa hasil putusan PTUN Pontianak yang memenangkan dua kliennya.
“Syukur membuat laporan ke Mabes Polri secara lisan disampaikan. Bukti awal yang dibawa ke polisi Syukur adalah putusan PTUN. Anehnya, hanya dengan laporan lisan, bisa muncul laporan polisi, bukan pengaduan. Sedangkan Syukur, tidak mengetahui langsung peristiwa pidana tersebut,” bebernya.
Seharusnya, kata Bayu, berdasarkan hukum acara, pelapor harus orang yang melihat, merasakan dan mendengar langsung terkait kejadian tindak pidana. Sesuai pasal 108 KUHAP. Tapi faktanya, saksi pelapor hanya mendapat informasi dari Andi. Sementara Andi tidak berada di tempat kejadian perkara.
“Dalam persidangan Syukur mengaku tahu bahwa buku tanah tidak terdaftar dan tidak tercatat di BPN Pontianak dari karyawan Bambang Widjanarko atas nama Doni,” lugasnya.
“Maka harusnya dalam perkara ini Doni lah yang menjadi pelapor, bukan Syukur. Karena Doni dalam setiap sidang gugatan PTUN selalu hadir sebagai utusan Bambang Widjanarko untuk menyaksikan jalannya sidang,” sambung Bayu.
Lanjut Bayu, saksi lainnya dua pegawai BPN Pontianak yang dihadirkan dalam persidangan, yakni Irwandi dan Yussi Isfar. Irwandi hanya menjelaskan kapasitasnya sebagai petugas yang menghitung nilai tanah. Dia menyampaikan dari sembilan sertifikat tanah milik Bambang Widjanarko itu bernilai Rp34 miliar.
“Keterangan Irwandi membuktikan bahwa jaksa penuntut umum tidak teliti, tidak cermat dan tidak merujuk surat keputusan BPN. Karena di dalam dakwaan, JPU mendakwa nilai objek tanah saksi korban mencapai Rp99 miliar berbeda dengan nilai yang disampaikan Irwandi dalam fakta persidangan,” jelasnya.
“Anehnya, dalam persidangan Irwandi tidak memberikan keterangan terhadap keabsahan buku tanah milik kedua klien kami yang dituduh buku tanah palsu,” timpal Bayu.
Dikatakan Bayu, sedangkan saksi Yussi Isfar merupakan Kepala TU BPN Pontianak. Bayu menjelaskan pihaknya menemukan fakta, apa yang disampaikan Yussi Isfar diberita acara pemeriksaan (BAP) berbeda dengan keterangannya di persidangan. Lantaran diketerangan Yussi Isfar di BAP, yang bersangkutan mengatakan bahwa buku tanah tahun 1963 urutannya dimulai dari 08 atas nama Muhammad Tahir bin Bacok.
Di fakta persidangan ditemukan bahwa nomor 08 atas nama Haji Taha bin H Muhammad Tamin.
“Dalam sidang Yussi Isfar mengatakan jika buku tanah tahun 1963 dimulai dari nomor urut angka 08 dan berakhir dinomor urut 26,” ucapnya.
Oleh karena itu, penting saksi menghadirkan album buku tanah dari nomor urut 01 sampai 100 guna menemukan kebenaran materiil. Karena di album buku tanah itu menurut kedua saksi dari BPN Pontianak nomor urut 01 sampai 100.
“Itu artinya terjadi kesaksian palsu oleh saksi Yussi Isfar di BAP,” sebutnya.
Dalam fakta persidangan, ketika pihak kuasa hukum terdakwa bertanya berkaitan dengan nomor album itu, saksi Yussi Isfar mengaku hal tersebut berdasarkan permintaan penyidik Mabes Polri.
“Surat dakwaan pada perkara pemalsuan buku tanah itu harusnya batal demi hukum, karena ada perbedaan keterangan yang disampaikan Yussi Isfar saat di BAP dan di dalam persidangan,” tegas Bayu.
Yang perlu diingatkan, sambung Bayu, bahwa dari BAP saksi Yussi Isfar inilah menjadi dasar dibuatnya surat dakwaan. Dan dari surat dakwaan itu menjadi dasar pemeriksaan hakim. Maka dari itu untuk mencari kebenaran materil perkara yang ditudingkan kepada kedua kliennya, dirinya meminta majelis hakim agar saksi dari BPN Pontianak menghadirkan album buku tanah dari nomor urut 01 sampai dengan 100 di Kelurahan Benua Melayu, Kecamatan Pontianak Timur (saat itu).
“Namun permintaan kami dijawab majelis hakim, untuk menghadirkan album buku tanah berisiko tinggi. Ini sangat-sangat aneh,” ujarnya.
Bayu menyatakan yang pasti keterangan tiga saksi yang dihadirkan JPU dalam persidangan kemarin bukan saksi fakta pokok perkara. Melainkan hanya berkaitan dengan administrasi saja. Para saksi tidak bisa memberikan keterangan perbuatan materil dari dakwaan pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP tentang pemalsuan.
“Harus diingat, pada gugatan PTUN hingga kasasi, majelis hakim telah menyatakan jika buku tanah nomor 49 tahun 1963 milik orangtua kedua klien kami sah dan berkekuatan hukum,” tuturnya.
Bayi menuding kezoliman yang dibungkus dengan baik dan rapi, pada akhirnya akan kalah dengan kebenaran. Karena kebenaran tidak dapat diintervensi oleh siapapun.
“Seharusnya kedua klien yang sudah menang di PTUN hingga kasasi, dimana majelis hakim menyatakan buku tanah nomor 49 tahun 1963 mendapat perlindungan hukum dari negara bukan sebaliknya,” pungkas Bayu. (rin)
Discussion about this post