JURNALIS.co.id – PT Kawedar Wood Industry (KWI) dianggap tidak memenuhi janjinya kepada masyarakat Adat Ketemenggungan Suku Dayak Pangin Orung Daan, Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu.
Akibatnya masyarakat adat tersebut mendatangi kantor DPRD Kapuas Hulu untuk melakukan audensi pada Senin (30/05/2022).
Jumaan, tokoh masyarakat Adat Ketemenggungan Suku Dayak Pangin Orung Daan menyampaikan, dalam audensi ini pihaknya menuntut janji dari pihak perusahaan PT KWI, dimana harus membayar fee yang sudah disepakati kepada masyarakat adat ketemenggungan Suku Dayak Pangin Orung Daan sebesar Rp110 ribu per meter kubik, dari hasil produksi kayu yang dikelola oleh PT KWI.
“Perusahaan PT KWI juga harus mempekerjakan, membina masyarakat adat Ketemenggungan Suku Dayak Pangin Orung Daan 50 persen dari jumlah karyawan, baik di kantor, maupun di luar lapangan,” katanya.
Selain itu, kata Jumaan, pihak PT KWI harus melaksanakan Pengembangan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan Corporate Social Responsibility (CSR) sesuai dengan peraturan yang ada.
“Terakhir kami meminta pihak perusahaan PT KWI harus membangun rumah Betang adat (Radang) dengan ukuran 25×50 meter, dan sampai 100 persen lahan sudah disiapkan oleh masyarakat adat ketemenggungan suku Dayak Pangin Orung Daan, di simpang masuk ke Dusun Tilung,” jelasnya.
Masyarakat Adat Ketemenggungan Suku Dayak Pangin Orung Daan Kecamatan Kalis juga melakukan hukum adat kepada oknum Polres, oknum Pemda, dan oknum TBBR, telah membongkar pagar jalan di simpang Nanga Arong, yang diduga ada ikut campur pihak perusahaan PT KWI.
“Mereka kami adat kesupan kampung dari 8 kampung sebesar Rp10 juta (per kampung) jadi total Rp80 juta. Kemudian, adat sengkelan dari setiap kampung masing-masing Rp5 juta per kampung total Rp40 juta, dan biaya acara adat keseluruhan sebesar Rp120 juta, harus segera dibayar sesuai dengan adat Ketemenggungan Suku Dayak Pangin Orung Daan,” ungkapnya.
Sementara Ketua Komisi B DPRD Kapuas Hulu, Aweng menjelaskan, bahwa permasalahan yang disampaikan masyarakat ke pihaknya adalah tentang fee yang disepakati dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) kedua belah pihak. Ada fee untuk hak ulayat, pembukaan kanan kiri jalan, serta sosial.
“Kemudian masyarakat minta penjelasan kubikasi kayu yang diolah, karena dalam PKS besaran fee ditentukan dari kubikasi kayu yang diolah tersebut,” ujarnya.
Aweng juga mengkonfirmasi upaya penyelesaian permasalahan tersebut ke OPD teknis. Kemudian mengkonfirmasi ke pihak PT KWI tentang fee tersebut. Pihak perusahaan menjelaskan bahwa sebagian fee telah disalurkan perusahaan ke masyarakat dan sebagian lainnya belum.
Ditambahkan Ketua DPRD Kapuas Hulu Kuswandi menegaskan, bahwa pihaknya ingin menghasilkan solusi terbaik terkait permasalahan PT KWI dan masyarakat adat Pangin Orung Daan.
“Kami selaku wakil rakyat, tidak ingin masyarakat kami susah karena hal ini, namun kami juga tidak ingin investasi ini terhenti, Kapuas Hulu butuh investor untuk pendapatan daerah,” jelasnya.
Kuswandi mengarahkan agar masyarakat dan pihak perusahaan PT KWI dapat sepaham dan saling menguntungkan. PKS yang ada disepakati dan dijalankan dengan baik.
“Agar masyarakat tidak dirugikan dan perusahaan juga bisa untung,” ucapnya.
Dari proses audiensi, pihak PT KWI memaparkan data bahwa fee dari pihak perusahaan sekitar Rp1,7 Miliar dan belum seluruhnya disalurkan. Penyaluran fee tersebut sejak 2020. Data tersebut kemudian menjadi fokus pembahasan audiensi dan hingga berita ini dimuat kegiatan audiensi masih berlangsung. (opik)
Discussion about this post