
JURNALIS.co.id – Satreskrim Polres Sanggau menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Dusun Tanjung Periuk dan Dusun Sejata, Desa Inggis, Kecamatan Mukok, Kabupaten Sanggau.
Diketahui, kegiatan tambang emas tanpa izin tersebut ditertibkan Polres Sanggau pada 6 Maret 2023.
Pada tanggal 1 April 2023, penyidik Polres Sanggau menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), dan melayangkan SPDP tersebut kepada Kejaksaan Negeri Sanggau pada 5 April 2023.
Dalam SPDP tersebut, diketahui penyidik Polres Sanggau telah menetapkan enam orang yang diamankan sebagai tersangka, yakni masing-masing berinisial R, M, SB, M, J dan C.
Menanggapi terbitnya SP3 tersebut, pengamat hukum Herman Hofi Munawar mengatakan, penyidik berwenang untuk menghentikan penyidikan dan kewenangan itu based on the law.
“Kewenangan itu hanya bisa dilakukan jika memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditentukan,” katanya, Kamis (01/06/2023).
Ia menerangkan, dalam hukum KUHAP pasal 109 menyatakan bahwa ada tiga syarat untuk menghentikan suatu penyidikan tindak pidana. Yaitu, tidak ada cukup bukti, perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan penyidikan dihentikan demi hukum.
“Penyidik Polres Sanggau melakukan penghentian terhadap beberapa orang yang diduga melakukan aktivitas PETI. Dalam penghentian penyidikan itu, apakah sudah bersandarkan pada ketentuan dalam pasal 109 KUHAP. Apakah salah satu dari persyaratan itu telah terpenuhi? Sehingga dilakukan penghentian, tersangka dilepaskan,” tanya Herman Hofi.
Ia mengingatkan, jika minimal dua alat bukti sudah ada, dan jelas bahwa PETI merupakan tindak pidana.
“Artinya, pasal 109 KUHAP tidak terpenuhi. Jika dikatakan bahwa sudah ada kesepakatan damai lalu tersangka damai dengan siapa? Kasus ini bukan delik aduan, tapi delik umum,” ujar Herman Hofi.
Dikatakan dia, menarik apa yang dikatakan Kasat Reskrim Polres Sanggau AKP Sulastri bahwa penyelesaiannya dilakukan melalui restorasi justice.
“Pertanyaannya berdamai dengan siapa? Pelapor tidak bisa mencabut laporannya, karena kasus ini adalah delik umum,” ujar Herman Hofi.
Ia menyebut, dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi, yang melibatkan semua pihak terkait.
Prinsip dasar restorative justice, lanjut Herman Hofi, adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
“Lalu dalam kasus SP3 ini, jelas bahwa PETI ini tidak masuk dalam peraturan Kapolri itu,” terangnya.
Sudah banyak regulasi terkait restorative justice. Herman Hofi mengatakan, selain Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, ada juga Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan. Selain itu, dalam implementasi regulasi maka dibuat Nota Kesepakatan Bersama Ketua MA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung.
“Dengan demikian tidak ada unsur restorative justice dalam perkara PETI ini. Kasus PETI bukan hanya pihak perusahaan yang dirugikan, tetapi negara dan masyarakat juga dirugikan. Polisi hendaknya mengkaji kembali terbitnya SP3 tersebut,” katanya.
Kemudian, Herman Hofi menambahkan, Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020, dengan tegas dikatakan bahwa perkara PETI bukan salah satu perkara yang bisa diselesaikan melalui mekanisme restorative justice.
“Karena yang dirugikan itu kan negara, bukan pihak perusahaan. Pihak Kejaksaan pun berhak mempertanyakan terbitnya SP3 tersebut,” pungkas Herman Hofi. (jul)
Discussion about this post