
JURNALIS.co.id – Sidang praperadilan atas penetapan status tersangka Komisaris dan Direktur PT Sari Pati Semudun Jaya (SPSJ) yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Barat (Disnakertrans Kalbar) akan segera selesai atau mendapatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Pontianak. Perkara Nomor: 3/Pid.Pra/2023/PN Ptk tersebut diperiksa dan diadili oleh Tri Retnaningsih selaku hakim tunggal.
“Pada Jumat (23/06/2023) kemarin, sudah sampai pada sidang kesimpulan masing-masing pihak,” kata Nur Rohman selaku Kuasa Hukum Para Pemohon.
Dikatakan Rohman, adapun kesimpulan dari Para Pemohon (Komisaris dan Direktur PT SPSJ) berdasarkan pada jawaban, duplik, bukti surat, saksi-saksi, dan fakta persidangan di antaranya:
- Keberatan Termohon (PPNS Disnakertrans Kalbar) terhadap saksi fakta yang dihadirkan dalam persidangan oleh Para Pemohon untuk diambil sumpahnya sangat tidak berdasarkan pada hukum. Mengingat Pasal 146 ayat (1) angka 3 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) terkait dengan pengunduran diri saksi yang pada intinya saksi yang berkaitan oleh kedudukan pekerjaan atau jabatan bisa mengundurkan diri sebagai saksi. Namun apabila saksi tidak keberatan, maka saksi bisa diambil sumpah dan dimintai keterangannya. Sehingga kami berkesimpulan keberatan Termohon terkait tidak disumpahnya saksi fakta Para Pemohon sangat tidak beralasan, tidak berdasarkan pada hukum dan tidak sesuai dengan Hukum Acara Perdata.
- Para Pemohon menyimpulkan bahwa dalam penetapan tersangka oleh Termohon tidak terdapat dua alat bukti yang cukup. Hal itu terbukti berdasarkan pada bukti surat dan pemeriksaan saksi Termohon pada saat persidangan yang hanya membuktikan surat saja.
- Dalam persidangan terbukti bahwa Surat Ketetapan Tersangka yang diterbitkan oleh Termohon objek dugaan tindak pidananya kabur dan tidak jelas. Dalam berita acara kesepakatan yang juga ditandatangani Termohon menyatakan tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan tersebut mulai tahun 2020 sampai pada tahun 2022, selain itu juga menerangkan secara detail ada berapa NPP dan berapa rupiah tunggakannya. Sedangkan dalam Surat Ketetapan Tersangka menyebutkan tunggakan iuran mulai tahun 2018 sampai tahun 2022 dan tidak menyebutkan berapa rupiah total tunggakannya. Sehingga kami menyimpulkan objek pidana dalam surat ketetapan tersangka tersebut kabur dan tidak jelas yang konsekuensi hukumnya adalah tidak sah.
- Berdasarkan pada jawaban, duplik Termohon dan fakta di persidangan terbukti bahwa Termohon mengakui 3 orang dari 4 orang yang ada dalam Sprindik Disnaker Kartu Tanda Pengenal sebagai PPNS telah habis masa berlaku kartunya. Selain itu juga Termohon mengakui bahwa 3 orang tersebut sedang dalam proses pengajuan permohonan perpanjangan masa berlaku kartu tanda pengenalnya. Berdasarkan itu, maka menurut kami Termohon sudah melanggar ketentuan Pasal 23 dan Pasal 24 Permenkumham RI 5/2016 tentang PPNS. Sehingga menurut kami proses pro yustitia yang dilakukan oleh Termohon tidak sah dan batal demi hukum.
“Maka berdasarkan pada kesimpulan di atas, kami selaku Penasihat Hukum Para Pemohon berharap permohonan praperadilan kami dikabulkan seluruhnya oleh yang mulia hakim pemeriksa dan mengadili perkara ini,” tutup Rohman.
Diberitakan sebelumnya, adapun yang menjadi objek dalam perkara praperadilan ini adalah penetapan status Tersangka Komisaris dan Direktur PT SPSJ berdasarkan pada Surat Ketetapan Nomor: S.tap-01/PPNS/NAKERTRAN/V/2023 tertanggal 22 Mei 2023 dan Surat Ketetapan Nomor : S.tap-02/PPNS/NAKERTRAN/V/2023 tertanggal 22 Mei 2023 yang diduga melakukan pelanggaran Pasal 55 jo Pasal 19 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS).
Dijelaskan Rohman, perkara ini bermula pada 24 Februari 2021, BPJS Ketenagakerjaan Pontianak mengajukan Surat Kuasa Khusus BPJS Ketenagakerjaan kepada Kejaksaan Negeri Mempawah guna untuk penyelesaian pengurusan Perusahaan Menunggak Iuran (PMI) untuk dilakukan pemanggilan atau kunjungan bersama di PT SPSJ. Tanggal 1 November 2022, Disnakertrans Kalbar menerbitkan Nota Pemeriksaan I untuk PT SPSJ.
“Inti isinya adalah PT Sari Pati Semudun Jaya tidak membayar dan menyetorkan iuran kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan terhadap 88 orang pekerja sejak bulan Juni 2018 sampai dengan bulan Oktober 2022,” jelas Rohman.
Pada 5 Desember 2022, Disnakertrans Kalbar kembali menerbitkan Nota Pemeriksaan II yang pada intinya dalam waktu 14 hari kerja tidak ditindak lanjuti, maka akan diproses secara hukum yang berlaku. Tanggal 15 Desember 2022, PT SPSJ mengajukan Surat Permohonan Kelonggaran untuk pembayaran iuran dan setoran BPJS Ketenagakerjaan disertai lampiran aset yang akan dijual.
“Apabila sampai jatuh tempo tidak bisa menyetorkan akan menjual aset tersebut untuk memenuhi kewajiban,” ucapnya.
Selanjutnya pada 28 Desember 2022, Disnakertrans Kalbar memanggil Direktur PT SPSJ untuk Penandatanganan Surat Pernyataan Tindak Lanjut Nota Pemeriksaan. Pada 29 Desember 2022, Direktur PT SPSJ membuat dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan dan komitmen untuk membayar atau menyetorkan iuran BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Pontianak paling lambat 5 Januari 2023. Disertai dengan Berita Acara Pernyataan yang pada pokok intinya menerangkan bahwa PT SPSJ memiliki dua Nomor Pendaftaran Perusahaan (NPP). Sehingga total tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan yang harus disetorkan sebesar Rp705.839.967.
“Faktanya Para Pemohon telah melunasi dan menyetorkan tunggakan iuran sebagaimana yang telah tertuang dalam surat pernyataan kesanggupan dan komitmenuntuk membayar tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan tertanggal 29 Desember 2022,” ungkap Rohman.
Atas dasar itu, lanjut Rohman, sehingga sudah selayaknya dan sepatutnya Termohon tidak melanjutkan proses perkara ini. Karena tidak cukup bukti.
“Unsur dugaan tindak pidana ketenagakerjaan tidak terpenuhi, dan tidak sah menurut hukum,” tegasnya.
Kuasa hukum Pemohon juga menyebutkan bahwa perkara pidana ketenagakerjaan ini ditandatangani oleh pejabat yang tidak berwenang. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS di antaranya menyebutkan PPNS diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri.
“Sehingga surat pemanggilan dan surat penetapan tersangka para pemohon secara hukum tidak sah atau batal demi hukum,” ucapnya.
Begitu pula dalam penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan Nomor: SPDP/01/PPNS/NAKERTRAN/2023 tanggal 7 Maret 2023 termohon secara formil telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS. Di antaranya disebutkan bahwa hal dimulainya penyidikan, PPNS wajib terlebih dahulu memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri dengan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), kecuali undang-undang mengatur lain. SPDP sebagaimana dimaksud dilampiri dengan laporan kejadian, surat perintah penyidikan, dan berita acara yang telah dibuat. Dalam perkara a quo SPDP dengan Nomor: SPDP/01/PPNS/NAKERTRAN/2023 tanggal 7 Maret 2023 tertulis ditujukan kepada ‘Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat melalui Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Barat’.
“SPDP tersebut yang diterima oleh para pemohon tidak dilampiri dengan berita acara yang telah dibuat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Ayat (2) huruf c. Padahal jika mengacu pada aturan tersebut SPDP yang dikirimkan harus turut menyertakan ketiganya yaitu laporan kejadian, surat perintah penyidikan, dan berita acara yang telah dibuat. Bahwa berdasarkan pada uraian di atas, maka SPDP dengan Nomor: SPDP/01/PPNS/NAKERTRAN/2023 tanggal 7 Maret 2023 tersebut secara hukum cacat formil dan tidak sah,” katanya.
Rohman mengatakan proses penyidikan batal demi hukum, karena dilakukan oleh PPNS Ketenagakerjaan dengan kartu tanda pengenal yang kadaluwarsa. Baik saat dilakukan surat panggilan, SPDP hingga surat penetapan tersangka Para Pemohon.
“Sehingga seluruh proses dokumen administrasi perkara ini tidak sah secara hukum atau batal demi hukum,” pungkas Rohman. (m@nk)
Discussion about this post