
JURNALIS.co.id – Sebanyak 7.376 hotspot (titik panas) terpantau pada 235 konsesi sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di Kalimantan Barat (Kalbar) sepanjang bulan Agustus 2023.
Jika pada periode 1 hingga 17 Agustus 2023 hotspot terpantau pada konsesi sawit sebanyak 3.275 dan di konsesi HTI sebanyak 1.675, maka pada periode setelahnya hingga akhir Agustus 2023 bertambah menjadi 7.374 hotspot.
Penambahan pada 18 hingga 31 Agustus 2023 tersebut masing-masing yakni hotspot di konsesi sawit sebanyak 1.726 hotspot dan di konsesi HTI sebanyak 700 hotspot. Namun demikian, jumlah hotspot periode 1-17 Agustus 2023 lebih banyak dari periode 18-31 Agustus 2023.
Adapun sejumlah konsesi sawit dengan peringkat 10 besar hotspot terbanyak diperiode 18-31 Agustus 2023 diantaranya; PT PN XIII Parindu sebanyak 65 titik, PT Multi Prima Entakai 61 titik, PT Arvena Sepakat 57 titik, PT Sebukit Internusa 52 titik, PT Prana Indah Gemilang 50 titik, PT Multi Jaya Perkasa 48 titik, PT Agro Andalan 37 titik, PT Batu Mas 37 titik, PT Kalimantan Bina Permai 30 titik dan PT Sime Indo Agro 29 titik.
Sedangkan pada periode yang sama dalam konsesi HTI, 10 besar hotspot terbanyak masing-masing; PT Finnantara Intiga 247 titik, PT Mahkota Rimba Utama 111 titik, PT Wana Hijau Pesaguan 45 titik, PT Prima Bumi Sentosa 38 titik, PT Mitra Jaya Nusaindah 32 titik, PT Inhutani III Nanga Pinoh 24 titik, PT Boma Plantation 22 titik, PT Sinar Kalbar Raya 18 titik dan PT Hutan Ketapang Industri 16 titik.
Banyaknya jumlah hotspot memiliki relasi dengan perubahan situasi berkenaan dengan indeks standar pencemaran udara (ISPU) pada masing-masing periode tersebut.
Bertepatan dengan HUT ke-78 ISPU di ibukota provinsi dengan angka 303 pada PM 2.5 kategori berbahaya dan bahkan pada 23 Agustus 2023 dengan angka 273 masuk kategori sangat tidak sehat. Baru pada pada akhir Agustus 2023 cenderung turun dengan angka 76 pada PM 2.5 kategori sedang.
Tingginya indikasi kebakaran pada konsesi sebanyak 7.376 hotspot tersebut hingga saat ini cenderung berbeda respon pemerintah maupun aparat penegak hukum dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 2018 dan 2019 misalnya, tindakan penyegelan dilakukan langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Sementara pada periode saat ini, belum ada konsesi yang diproses secara hukum.
Berbeda dengan kasus warga yang diduga terlibat karhutla saat ini, justeru ada yang diproses hukum.
“Secara praktik nihilnya proses hukum terhadap penanggungjawab usaha yang diduga terjadi kebakaran pada konsesinya bagi kami sangat tidak biasa. Ada kesan terjadi pembedaan perlakuan. Sementara warga yang diduga terlibat karhutla justru lebih sigap diproses hukum. Hal ini kami nilai justeru menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum terkait karhutla di Kalimantan Barat saat ini,” tegas Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam.
Menurut Adam, preseden tidak baik seperti ini justeru kian menguatkan dugaan bahwa ‘budaya penegakan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas’ masih dipertontonkan dari institusi yang diharapkan. Karenanya, upaya penegakan hukum karhutla yang berkeadilan oleh aparat penegak hukum masih jauh panggang dari api. Situasi ini harusnya menjadi atensi serius Bapak Presiden dan Kapolri.
“Belum ada terobosan aparat penegak hukum yang patut dibanggakan jika hanya berani memproses warga, namun enggan melakukan penindakan hukum serius terhadap penanggungjawab korporasi yang lahannya terindikasi alami kebakaran,” ungkap Hendrikus Adam.
Lebih lanjut, menurut Hendrikus Adam, pihak penegak hukum bukannya malah melakukan tindakan tegas terhadap konsesi yang diduga mengalami kebakaran, namun malah menerbitkan Maklumat yang menegaskan larangan dan sanksi hukum pembakaran hutan dan lahan tanpa pengecualian selama ini.
Dalam hal ini, larangan juga ditujukan pada para Peladang dalam mengusahakan hak atas pangannya yang sebetulnya jelas-jelas dilindungi oleh Undang undang dan Peraturan Daerah. ***
(R/Walhi Kalbar/Ndi)
Discussion about this post