JURNALIS.co.id – Sejumlah aliansi lingkungan di Kalimantan Barat menggelar aksi menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Aksi berlangsung di area car free day, Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Pontianak Selatan, Minggu (22/10/2023).
Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, Hendrikus Adam mengatakan hutan, tanah dan air merupakan bagian penting ekosistem dalam mendukung dan memastikan keberlanjutan kehidupan manusia yang lebih beradab dan bermartabat.
Namun demikian, lanjut Adam keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam perjalanannya dari waktu ke waktu terus mengalami tekanan, keterancaman dan bahkan berpotensi menuju kepunahan seiring dengan lanjunya praktik ekstraksi atas nama pembangunan dan kesejahteraan yang difasilitasi negara selama ini.
“Praktik monopoli tanah oleh industri ekstraktif tersebut pada akhirnya menjadi akar persoalan ekonomi dan lingkungan hidup di Kalimantan Barat,” kata Adam.
Adam menjelaskan, di negara yang diklaim demokrasi, namun kerap kali justeru menempatkan rakyatnya hanya sebagai objek, sementara sumberdaya alam dan lingkungan hidup cenderung dianggap sebagai komoditas. Lebih miris lagi, perlawanan rakyat yang berjuang dengan sadar agar ruang hidupnya tidak digusur dan hak-haknya atas sumber-sumber agraria tidak dikebiri, justeru dihadapkan dengan cara-cara kekerasan, intimidasi dan ancaman kriminalisasi.
Adam mencontohkan, seperi kasus penembakan warga Bangkal di Kalimantan Tengah yang memperjuangkan haknya hingga meregang nyawa baru-baru ini, upaya penggerusan paksa warga Rempang karena proyek eco-city di Batam dan penembakan warga Segar Wangi di Ketapang, penggusuran lahan – tanah colap Masyarakat Adat di Simpang Hulu – Ketapang oleh perkebunan kayu hingga berujung konflik yang terancam kriminalisasi, serta sejumlah kasus lainnya selama ini adalah deretan persoalan kemanusiaan mengemuka sekaligus mengkonfirmasi bahwa rakyat kerap menjadi korban akibat kekuatan modal yang telah ‘bersatu’ dengan tangan besi kekuasaan.
Menurut Adam, situasi tersebut disadari akan kian diperparah dengan telah disahkannya regulasi sapu jagad melalui Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi karpet merah bagi kekuatan oligarki sekaligus ancaman bagi tatanan kehidupan rakyat yang demokratis, berkeadilan dan bermartabat di negeri ini.
Adam mengungkapkan, asus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi massif sejak 1997 di Kalimantan Barat seiring dengan telah dan terus massifnya konversi lahan untuk industri ekstraktif saat itu dan bahkan berlangsung hingga saat ini telah menjadi pemicu serius rusaknya ekosistem hutan dan gambut yang seharusnya dilindungi.
Adam mengatakan, situasi itu akhirnya bahkan turut memperparah laju degradasi dan deforestasi selama ini di Kalimantan Barat. Pada sisi lain, Masyarakat adat yang telah menjaga hutannya justeru berpotensi dihadapkan dengan ketidakpastian hak ditengah meningkatnya kesadaran bersama masyarakat global untuk memaksa negara penghasil esmisi memberikan insentif sebagai kewajibannya melalui skema perdagangan karbon yang hingga saat ini masih belum sungguh-sungguh jelas.
“Buah dari akumulasi persoalan ekologis tersebut adalah krisis multi dimensi yang lagi-lagi pada akhirnya menempatkan rakyat terutama ‘kelompok rentan’ seperti kaum tani, buruh, nelayan dan lainnya menjadi korban. Pemanasan global yang menyebabkan terjadinya krisis iklim lantas melahirkan krisis-krisis berikutnya seperti bencana ekologis banjir, kekeringan juga menjadi,” terang Adam.
Adam menyatakan, ancaman bagi pemenuhan kebutuhan pangan oleh kaum tani. Sementara proses penunjukan kawasan hutan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah selama ini telah melahirkan rasa ketidakadilan dan potensi konflik maupun masalah hukum bagi rakyat.
Di tengah situasi darurat sosial – ekologis yang terjadi, Adam menambahkan, maka rencana pendirian tapak pembangkit listrik tenaga nuklir oleh para promotornya di Kalimantan Barat menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup karena potensi risiko kecelakaan, gagal teknologi dan limbah nuklir.
Menurut Adam, pemenuhan akses pemerataan listrik bagi rakyat yang aman, bersih, murah, berkeadilan dan berkelanjutan mestinya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan energi terbarukan. Bukan melalui sumber energi berbahaya dan penuh risiko seperti PLTN.
Adam menyatakan, berangkat dari berbagai situasi di atas, upaya pemulihan menjadi sangat relevan dilakukan, karena itu, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Ekologis yang terdiri atas sejumlah elemen, dengan ini menyerukan, menolak pendirian PLTN di Kalimantan Barat dan Indonesia umumnya serta meminta mengoptimalkan energi terbarukan. Hentikan praktik monopoli tanah rakyat oleh korporasi dan berikan kedaulatan atas sumber-sumber agraria untuk rakyat. Selamatkan wilayah dan ruang hidup rakyat.
Adam menyatakan, pihak juga menuntut untuk menghetikan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan lingkungan hidup dan HAM. Karhutla merupakan kejahatan luar biasa, karenanya hukum tegas perusahaan pembakar hutan dan lahan. Cabut izin perusahaan perusak lingkungan dan pelanggar HAM. Selamatkan masyarakat adat dari ketidakadilan – solusi palsu krisis Iklim (Perdagangan Karbon). Dan hentikan penggusuran paksa lahan tanah masyarakat adat di Simpang Hulu–Simpang Dua, Kabupaten Ketapang dan masyarakat adat di Kalimantan Barat umumnya.
Adam juga menuntut, agar pemerintah dapat menjaga, menyelamatkan dan memulihkan lingkungan di Kalimantan Barat. Memberi jaminan harga komoditas pertanian rakyat yang layak dan mengoptimalkan sarana pertanian tepat guna. Dan meminta pemerintah mengoptimalkan langkah-langkah mitigasi dalam penanganan krisis iklim.
Aksi yang berlangsung sejak pukul 06.00 WIB itu diketahui diikuti dari berbagai aliansi, seperti Aliansi Rakyat untuk Keadilan Ekologis LBH Kalimantan Barat, AGRA Kalimantan Barat, LINK-AR Borneo, Front Mahasiswa Nasional Pontianak, Extinction Rebellion, MATA UMP, LBH Pontianak, WALHI Kalbar. (hyd)
Discussion about this post