JURNALIS.co.id – Sejumlah masyarakat pedalaman Hulu Kapuas Kecamatan Putussibau Selatan geruduk gedung DPRD Kapuas Hulu, Senin (06/11/2023). Kedatangan masyarakat pedalaman tersebut menuntut keadilan terhadap permasalahan yang mereka hadapi, mulai dari aturan penetapan kawasan hutan lindung, PETI dan lainnya. Kedatangan mereka disambut langsung Ketua, Wakil Ketua dan beberapa anggota DPRD Kapuas Hulu.
Vidensius Ingan Jubir Forum Komunikasi Masyarakat Pedalaman Hulu Kapuas menyampaikan, kedatangan mereka ke DPRD Kapuas Hulu ingin menyampaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat adat. Di mana masyarakat adat yang tinggal dalam kawasan hutan tidak boleh melakukan apa-apa oleh pemerintah.
“Jadi mirisnya kami orang Dayak Punan yang sudah ribuan tahun berada dalam kawasan hutan tersebut, kita seperti dianggap menumpang. Hal ini yang menjadi kemarahan masyarakat dan membuat masyarakat menjadi tidak nyaman,” katanya.
Vidensius mengatakan mereka ingin memperjuangkan bagaimana masyarakat adat bisa bekerja, hidup dan berusaha memenuhi kebutuhan yang ada.
“Apalagi kami yang hidup di Hulu Kapuas Sungai Bungan, untuk rentang waktu dari Tanjung Lokang ke Putussibau itu membutuhkan biaya yang sangat besar. Bayangkan saja hanya untuk pulang pergi saja yang Rp10 juta itu seperti dibakar, karena hanya untuk beli BBM,” ujarnya.
Jadi, kata Vidensius, masyarakat pedalaman Hulu Kapuas selama ini dilarang untuk berusaha. Sementara tidak ada solusi yang diberikan pemerintah pusat terutama dari Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) maupun Dinas Kehutanan.
“Kita siap tidak untuk berladang, PETI dan lainnya, tapi kita harus disiapkan solusi jangka pendek maupun panjang. Kita ini sudah diakui negara melalui beberapa peraturan perundang-undangan, di mana sudah ada Perda Kapuas Hulu Nomor 13 yang mengatur tentang hak-hak kita sebagai masyarakat adat. Itu sebenarnya yang kita tuntut kepada pemerintah,” pungkas Vidensius.
Sementara Ketua DPRD Kapuas Hulu Kuswandi menyampaikan untuk menyelesaikan masalah ini memang harus duduk bersama dengan para pemangku pengambil kebijakan terutama di tingkat pemerintah pusat.
“Jadi para pejabat yang pengambil kebijakan itu harus dihadirkan tidak bisa diwakilkan. Jika hanya pejabat di kabupaten saja yang hadir, maka masalah ini sulit untuk diselesaikan,” katanya.
Kuswandi mencontohkan masalah yang dikeluhkan masyarakat pedalaman seperti PETI, BBM dan Migas, maka harus dihadirkan dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalbar. Kemudian masalah kehutanan yang dikeluhkan masyarakat, maka dari Pemerintah Provinsi Kalbar juga harus hadir.
“Jadi Pemerintah Provinsi Kalbar harus memberikan solusi kepada masyarakat terhadap aturan dan larangan yang sudah mereka tetapkan di Kapuas Hulu. Sehingga masyarakat pun tahu dan jelas masalahnya,” ujarnya.
Politisi Golkar ini mengatakan, jangan sampai masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan tersebut kesulitan untuk mencari nafkah demi melanjutkan kelangsungan hidupnya akibat adanya aturan dan larangan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi.
“Jangan sampai saking mau menyelamatkan binatang yang berada di dalam kawasan hutan, sementara manusia dibunuh. Aturan itu sudah tidak relevan lagi dan harus diubah,” lugasnya.
Maka dari itu, kata Kuswandi, DPRD Kapuas Hulu siap untuk mendukung dan memfasilitasi memperjuangkan hak-hak masyarakat pedalaman.
“Apa yang dialami masyarakat ini memang masalah yang sudah lama. Sementara kita di DPRD Kapuas Hulu ini hanya bisa memfasilitasi, tapi kalau ada pemangku pengambil keputusan hadir di sini, kita tentunya siap mem-backup putusan itu. Sementara ini tidak ada solusinya,” ujarnya.
Ketua DPRD Kapuas Hulu ini mengaku sangat kecewa terhadap aturan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi hingga Pemerintah Pusat dalam menetapkan aturan di Kapuas Hulu yang berkaitan dengan nasib masyarakat tanpa ada koordinasi dan komunikasi dengan pihaknya, apalagi masyarakat itu sendiri.
“Tiba-tiba dari Pemerintah Pusat menetapkan wilayahnya sebagai kawasan hutan lindung dan sebagainya, sementara masyarakat yang tinggal dalam kawasan itu tidak tahu. Kan kasihan mereka, itukan tidak manusiawi. Makanya nanti kita minta kepada pemangku pengambil keputusan agar dapat hadir dalam audiensi selanjutnya,” tutup Kuswandi. (opik)
Discussion about this post