
JURNALIS.co.id – Lembaga Bantuan Hukum Anak Bunga Bangsa mencatat sejak 2021 hingga 2023 sebanyak dua kasus kekerasan dan delapan kasus kejahatan seksual terhadap anak di Kota Pontianak yang dilaporkan ke kepolisian tak kunjung tuntas penanganan hukumnya.
Ketua LBH Anak Bunga Bangsa, Dewi Aripurnamawati mengatakan ada delapan pengaduan kasus kejahatan seksual terhadap anak dan dua kasus kekerasan terhadap anak sejak 2021 hingga 2023 yang diterima pihaknya.
Dewi menerangkan, untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak jumlah korban yang mengadukan kasusnya sebanyak delapan orang dengan pelaku berbagai latar belakang, seperti ayah kandung, ayah tiri, orang dewasa yang tidak ada hubungan dengan korban.
“Delapan kasus kejahatan seksual terhadap anak dan dua kasus kekerasan terhadap anak ini sudah dilaporkan ke kepolisian. Tetapi sampai sekarang penanganan kasusnya jalan di tempat,” kata Dewi, Senin (13/11/2023).

Dewi mencontohkan, seperti kasus persetubuhan terhadap anak yang dialami N (14). Korban disetubuhi oleh ayah tirinya sejak masih duduk di kelas lima sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Kasus tersebut, lanjut Dewi, dilaporkan oleh ibu kandung korban ke pihak kepolisian. Namun kemudian laporan tersebut dicabut oleh pelapor dengan alasan akan menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan.
Dewi menyatakan, padahal sudah jelas terhadap kasus kejahatan seksual terhadap anak, tidak ada penyelesaian kasusnya di luar peradilan.
“Kasus kejahatan seksual terhadap anak ini menggunakan Undang-Undang Lex Spesialis. Tidak boleh dilakukan restoratif justice,” tegasnya.
Harusnya, Dewi menambahkan, meski pelapor mencabut laporan atau pengaduan, kepolisian harus tetap memproses kasus tersebut.
Dewi menuturkan, pada kasus kejahatan seksual lainnya yakni seorang anak berusia 13 tahun menjadi korban prostitusi. Kasus itu menjadi rancu ketika polisi menetapkan seorang anak sebagai pelaku pencabulan, sementara pelaku utamanya yang melakukan eksploitasi justru tidak ditetapkan sebagai tersangka.
“Pelaku eksploitasi terhadap korban sampai saat ini tidak tersentuh. Kasus ini dilaporkan Agustus 2022, tapi sampai sekarang, yang mirisnya pelaku yang dituduh melakukan pencabulan terhadap korban anak-anak juga,” ungkapnya.
Sementara itu, Dewi menambahkan, ada beberapa kasus kejahatan seksual terhadap anak yang hilang penanganannya.
Dewi menjelaskan, hilang maksudnya pelaku sudah dilakukan penahanan, sudah ditetapkan sebagai tersangka tetapi oleh polisi kasus tersebut dihentikan. Dengan alasan antara korban dan pelaku sudah berdamai.
Dewi menyatakan, seperti yang sudah dikatakannya, bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak adalah lex spesialis. Yang artinya tidak bisa diselesaikan di luar peradilan.
“Kasus ini dilaporkan Oktober 2022, ada dua laporan di tempat kejadian yang sama. Korbannya dua orang pelakunya beda orang. Tetapi kasusnya hilang,” ungkapnya.

Kasus lainnya, lanjut Dewi, persetubuhan terhadap anak dengan pelaku ayah kandung. Korban berusia 12 tahun. Yang juga tak tahu sudah sampai dimana perkembangan penanganan kasusnya, meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Ada satu kasus lainnya yang dilaporkan sejak 2021 tetapi sampai sekarang juga tidak tahu sampai dimana penanganan kasusnya,” katanya.
Dewi menyatakan penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan kepolisian dapat dikatakan cukup buruk, jika melihat apa yang dilakukannya. Masyarakat tentu menginginkan penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak berjalan sesuai dengan koridornya.
“Jangan sampai penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan kepolisian malah melukai rasa keadilan korban,” tegasnya.
Dewi menyatakan proses hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak pada dasarnya adalah untuk memenuhi rasa keadilan korban dan memberikan efek jera kepada pelakunya.
Sementara Direktur Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN), Devi Tiomana mengatakan dirinya berulang kali mengatakan jika penyidik unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) di kepolisian di Kota Pontianak dapat dikatakan tidak profesional dan proporsional.
Menurut Devi, penyidik bekerja tidak sesuai dengan aturan dan tidak berstandar sebagai penyidik anak. Dan bukti dari ketidakprofesionalan penyidik itu adalah ada dua surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kasus pencabulan yang dikembalikan kejaksaan ke kepolisian.
“Harusnya polisi malu SPDP-nya dikembalikan. Dan harusnya meski dikembalikan proses penanganan kasusnya harus tetap berjalan,” tegasnya.
Devi menyatakan kalau kejaksaan sampai mengembalikan SPDP pelaku sempat ditahan, maka kalau pelakunya cerdas, laporkan penyidiknya, lakukan praperadilan dan minta ganti rugi.
“Ketika mengetahui ada SPDP kasus pencabulan dikembalikan jaksa, saya yang bukan polisi saja malu mendengarnya. Inikan bukti bahwa penyidik PPA itu tidak profesional,” katanya.
Devi mengatakan dalam sejarah penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak pernah terjadi SPDP dikembalikan jaksa ke penyidik. Dan perlu diketahui ketika polisi berani menahan seseorang itu artinya sudah ada dua alat bukti yang terpenuhi.
“Penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak saat ini boleh dikatakan yang paling buruk,” tegasnya.
Devi menyatakan dengan dikembalikannya SPDP tersebut harusnya penyidik dan keberadaan unit PPA tersebut dievaluasi. Masih perlukah keberadaannya?.
“Profesionalitas, integritas dan kompetensi penyidik PPA di Kota Pontianak patut dipertanyakan,” pungkas Devi. (hyd)





Discussion about this post