JURNALIS.co.id – Poltak Sianturi, mantan Direktur RSUD Achmad Diponegoro Putussibau angkat bicara terkait terjadinya defisit anggaran yang dialami rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu saat dirinya menjabat.
Dari data yang diterima media ini sebelumnya tahun 2021-2022 RSUD Achmad Diponegoro Putussibau memiliki hutang jasa pelayanan tenaga kesehatan, pengadaan obat serta pengadaan barang habis pakai kepada pihak ketiga yang nilai awalnya Rp12,3 miliar. Namun pada awal tahun 2023 sudah ada Rp4,6 miliar yang sudah terbayarkan terhadap hutang-hutang tersebut, sehingga kini menyisakan Rp7,7 miliar. Dimana Rp6,1 miliar untuk hutang jasa pelayanan tenaga kesehatan dan Rp1,6 miliar hutang untuk pengadaan obat dan barang habis pakai lainnya.
Menyikapi hal tersebut Poltak menyampaikan, bahwa untuk hutang Rp12 miliar tersebut per Desember 2022 dimana terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) BLUD rumah sakit sebesar Rp3,5 miliar yang belum bisa digunakan terkait pagu anggaran di Rincian Biaya Anggaran (RBA) yang sudah habis. Sementara ada Rp2,6 miliar tagihan ke BPJS Kesehatan yang belum dibayarkan terkait klaim yang ditolak pembayarannya (dispute) akibat tidak tersedianya dokter Anestesi.
“Terdapat piutang klaim pelayanan dari BPJS Kesehatan bulan November – Desember 2022 dan klaim Jampersal yang belum dibayarkan ke RSUD pada Desember 2022 yang belum dibayarkan hampir Rp3 miliar. Kalau dikaitkan dengan nilai persediaan sebesar Rp1,6 miliar, maka jika dikurangi dengan Silpa 2022 sebesar Rp3,5 miliar dan dikurangi juga dengan piutang (hutang BPJS ke RSUD) sebesar Rp5,6 miliar, maka hutang RSUD 2022 sebesar Rp1,3 miliar,” katanya, Rabu (22/11/2023).
Poltak mengatakan untuk hutang rumah sakit terhadap jasa pelayanan tenaga kesehatan itu akan dibayarkan segera ketika mereka sudah menyelesaikan rekapan klaim jasa pelayanan dari masing-masing Nakes.
Poltak yang menjabat Direktur RSUD Achmad Diponegoro Putussibau dari tahun 2018 mengatakan, memang saat itu membutuhkan waktu untuk pembayaran klaim jasa pelayanan. Karena memang saat itu setiap tenaga kesehatan harus mengkoreksi dari apa yang mereka dapatkan dari rekapan tersebut apakah sudah benar atau tidak.
Poltak menjelaskan, selanjutnya ada proses perencanaan setiap pengeluaran untuk setiap bulannya oleh rumah sakit, sehingga harus benar-benar diperhitungkan untuk bisa memenuhi semua kebutuhan dan juga ada perencanaan dalam penyusunan, pengeluaran anggaran dalam setiap bulannya.
“Jadi tidak sekaligus pembayaran jasa pelayanan itu dilakukan ketika jasa pelayanan itu sudah ada, maka klaim pelayanan itu harus dikeluarkan. Tapi memang pembayaran klaim pelayanan itu akan dikeluarkan dan memang harus dikeluarkan namun secara bertahap,” ujarnya.
Sedianya, kata Poltak, apa yang didapat dari pendapatan dalam pengelolaan rumah sakit sebelumnya, itu membayarkan apa yang sudah dilakukan oleh rumah sakit pada tahun sebelumnya.
“Ketika saya mutasi dari RSUD, masih terdapat saldo 4,7 M pada rekening RSUD, Dana itu harusnya bisa digunakan untuk membayar hutang-hutang sebelumnya. Meskipun itu masih ada juga klaim yang belum dibayarkan pihak lain,” ujarnya.
“Karena jasa pelayanan ini ada dari umum, BPJS, Jampersal dan Covid-19 saat itu,” timpal dia.
Poltak mengatakan, untuk mengatasi hutang jasa pelayanan tenaga kesehatan serta pengadaan obat dan lainnya, RSUD saat itu tetap melakukan pembayaran secara bertahap karena tidak bisa sekaligus dan pengeluaran rumah sakit juga harus ditekan.
“Masalah keuangan di RSUD sering mengalami kesulitan, bahkan pada tahun 2019 saja RSUD pernah harus membayar gaji tenaga kontrak saat itu yang berjumlah sekitar 240 orang. Ini yang berat karena pembayaran gaji harus tenaga kontrak harus menggunakan dana BLUD yang terbatas, belum lagi tahun berikutnya terjadi pandemi yang berdampak pada pengeluaran yang besar untuk membeli banyak perlengkapan seperti APD mengikuti standar protokol kesehatan tenaga kesehatan di masa pandemi, sementara pendapatan menurun masa pandemi itu,” terangnya.
Poltak menegaskan, bahwa siapa pun Direktur RSUD Achmad Diponegoro Putussibau yang menjabat saat ini harus tetap membayar hutang rumah sakit, seperti apa yang direkomendasikan oleh inspektorat. Karena dirinya juga saat menjabat Direktur RSUD Achmad Diponegoro Putussibau saat itu juga membayar hutang masa lalu. Apalagi hutang ini sudah masuk dalam laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diaudit oleh BPK dan juga sudah diaudit Inspektorat.
“Pendapatan rumah sakit pada masa lalu harus digunakan untuk membayar hutang masa lalu juga, jadi jangan hanya digunakan untuk operasional masa sekarang saja,” pungkas Poltak. (opik)
Discussion about this post