JURNALIS.CO.ID – Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar yang terkesan membiarkan aktivitas PT Mayawana Persada membabat hutan dan gambut di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.
Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil, Hendrikus Adam membeberkan, PT Mayawana Persada terus memperparah krisis iklim dengan berlaku brutal membabat hutan dan gambut untuk kepentingan bisnis Hutan Tanaman Industri (HTI di Kalimantan Barat.
Adam mengungkapkan, bahkan akhir-akhir ini perusahaan terus memperluas ekspansinya dengan menggusur lahan hingga ke perbatasan wilayah Desa Paoh Concong di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang.
Dari hasil pemantauan citra satelit, PT Mayawana Persada kini mulai membabat hutan yang terindikasi area gambut lindung ke daerah barat daya. Apabila tindakan itu terus berlanjut, maka potensi pembukaan hutan akan terus meningkat hingga mencapai 6.268 hektar.
“Disaat pemerintah ingin menekan laju deforestasi guna menekan laju pemanasan global yang berdampak pada krisis iklim globa. Kenyataan kontras malah ditunjukkan melalui praktik yang kini dilakukan oleh eks perusahaan group Alas Kusuma ini,” kata Adam, Sabtu (16/3/2024).
Adam menjelaskan, Perusahaan mendapat luas izin 136.710 hektar melalui SK.732/Menhut-II/2010 pada 2016. Sebagaimana dipetakan Kementerian LHK, luas hutan dalam areal izin seluas 88.100 hektar. Padah pemetaan tahun berikutnya terdapat 89.410 untuk habitat orangutan dan 83.060 hektar merupakan ekosistem gambut kaya karbon.
Sebagaimana catatan Koalisi Masyarakat Sipil dalam laporan “Kerusakan Ekologis – Pelanggaran HAM PT Mayawana Persada: Ugal-ugalan Ekspansi HTI di Kalimantan Barat”, perusahaan telah menebang 14 ribu hektar hutan antara Januari hingga Agustus 2023.
Pada Oktober 2023, perusahaan group yang diduga memiliki keterkaitan dengan Royal Golden Eagle ini membuka hutan tambahan seluas 2.567 hektar. Dengan demikian, sejak 2016 hingga saat ini perusahaan telah menebang 35 ribu hektar hutan.
Adam menyebut, selain membuka lahan gambut lindung penyimpan karbon yang berada pada Kawasan Hidrologis Gambut, perusahaan monokultur itu juga membuka ekosistem berhutan alami yang menjadi habitat orangutan.
PT Mayawana Persada juga telah membuka hutan hingga ke tepi sungai utama yang mengalir melalui konsesi di satu kawasan. Bahkan disisi lain, terpantau pembukaan hutan yang dilakukan hingga jarak 40 meter dari tepi sungai.
“Pembukaan hutan di wilayah konsesinya terjadi dengan ugal-ugalan dan melanggar prinsip pelestarian lingkungan,” tegas Adam.
Menurut Adam, apa yang dilakukan Perusahaan melanggar Pasal 6 ayat 3 Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Dijelaskan, bahwa garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Pada sisi lain, lahan yang memiliki fungsi ekosistem gambut lindung jelaslah tidak dibolehkan untuk kegiatan perkebunan. Jenis tanaman yang ditanam oleh PT Mayawana Persada adalah akasia dan eukaliptus. Sebagaimana diketahui, pemanfaatan lahan gambut untuk HTI akasia dan eukaliptus selalu diawali dengan pembuatan saluran drainase atau kanal, dengan akibat mengeringnya lahan dan rusaknya ekosistem gambut.
“Berdasarkan hasil pemantauan, terdapat sejumlah saluran kanal-kanal yang dibangun dan bersinggungan dengan anak sungai. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembukaan lahan gambut untuk bisnis HTI oleh PT Mayawana Persada tidak terhindarkan. Melalui kanalisasi yang dilakukan perusahaan, pengeringan lahan menyebabkan gambut rusak tersubsistensi hingga rentan mengalami kebakaran dan berbagai risiko lainnya yang mungkin terjadi,” ujar Adam.
Menurut Adam, konversi lahan gambut menjadi perkebunan komoditas vegetasi monokultur, seperti akasia dan eukaliptus, mengakibatkan terlepasnya emisi karbon di dalam gambut serta berkurangnya biomassa di atas gambut.
Cadangan karbon dalam tanah gambut adalah sepuluh kali lipat dibanding dalam tanah mineral biasa. Oleh karena itu, setiap kerusakan yang terjadi di lahan gambut mengakibatkan pelepasan emisi yang lebih besar. Sehingga berimbas pada meningkatnya krisis iklim.
“Untuk diketahui izin konsesi PT Mayawana Persada sendiri berada dalam Kawasan Hidrologis Gambut Sungai Durian-Sungai Kualan yang memiliki indikatif fungsi lindung maupun fungsi budidaya gambut,” ucap Direktur Walhi Kalbar itu.
Sebagaimana temuan Walhi Kalbar yang dilakukan pada lima titik di tiga desa di wilayah Kayong Utara, menguatkan fakta telah terjadi pembukaan lahan yang sebelumnya memiliki tegakan kayu alam.
Selain itu, juga ditemukan adanya pembukaan lahan gambut melalui pembuatan sejumlah kanal. Sepanjang 2022 hingga Oktober 2023, PT Mayawana Persada telah membuka dan mengeringkan lahan gambut seluas 14.505 hektar.
Dengan demikian, lanjut Adam, berarti perusahaan telah mengeluarkan 797.775 metrik ton CO2. Sebuah angka yang fantastis menambah laju akumulasi emisi di tengah keinginan pemerintah untuk menekan laju krisis iklim.
Bahkan dari informasi yang diperoleh di lapangan beberapa waktu lalu, perusahaan terus melakukan ekspansi hingga di batas wilayah Desa Paoh Concong tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat di komunitas.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien mengatakan, ekspansi perkebunan kayu PT Mayawana Persada telah merusak hutan alam, lahan gambut, dan habitat orangutan.
Andi mengungkapkan, jika dilihat dari citra satelit di wilayah konsesi, nampak jelas garis kisi-kisi yang akan menjadi area clearing selanjutnya. Potensi pembukaan hutan ini mencapai 6.268 hektar. Dengan demikian maka emisi yang dikeluarkan sebesar 344.740 metrik ton CO2.
“Ekspansi perkebunan kayu yang membabat hutan alam, gambut dan habitat orangutan tersebut harus dihentikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mesti bertanggung jawab atas deforestasi yang terjadi,” tegas Andi.
Sementara itu, Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR Borneo), Ahmad Syukri mengungkapkan, aktivitas yang dilakukan oleh PT Mayawana Persada di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara telah merusak keseimbangan ekologis dan ketentraman masyarakat sekitar.
Syukri menyatakan, ekosistem gambut yang spesial karakter dan fungsinya bagi keseimbangan alam dihancurkan hanya demi tanaman monokultur yang ditanam dan dipanen secara periodik. Sudah barang tentu ancaman bencana alam banjir akan menghantui wilayah di dalam dan sekitar konsesi PT Mayawana Persada. Karena hutan alam dan ekosistem gambutnya rusak yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah menyerap dan menampung air.
“Potensi bencana akibat pembukaan besar-besaran hutan alam dan pengrusakan ekosistem gambut juga akan berdampak pada kondisi perekonomian masyarakat yang sepenuhnya masih menggantungkan hidupnya dari pertanian tradisional,” kata Syukri.
Syukri menyatakan, pelegalan dan pembiaran yang dilakukan oleh Kementerian LHK atas pembukaan hutan alam dan ekosistem gambut yang dilakukan PT Mayawana Persada jelas bertentangan dengan target yang diinginkan pemerintah Indonesia dalam Folu Net Sink 2030.
“Sudah tepatkah langkah mitigasinya? Seharusnya pemerintah memberi sanksi berat kepada PT Mayawana Persada,” pinta Syukri.
Pj Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (AMAN Kalbar), Tono mengungkapkan, selain merusak hutan PT Mayawana Persada juga banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng yang berada baik di Kecamatan Simpang Hulu maupun Kecamatan Simpang Dua. Karena merampas wilayah adat yang dilakukan hingga saat ini.
Tono mengatakan, bahkan Tonah Colap Torun Pusaka yang merupakan kawasan lindung adat yang dijaga oleh Masyarakat Adat Dayak Kualan pun dibabat habis oleh perusahaan.
“Selain merusak wilayah adat Masyarakat Adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng, PT Mayawana Persada juga merampas wilayah kelola masyarakat yang menjadi sumber kehidupan dan keberlanjutan,” ungkap Tono.
Tono mengungkapkan, konflik yang dialami Masyarakat Adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng sudah cukup lama. Masyarakat sudah melaporkan persoalan mereka dari Kecamatan hingga Pemerintah Pusat. Bahkan PT Mayawana Persada sudah sering dihukum Adat oleh Masyarakat Adat Dayak Kualan.
Tetapi penggusuran dan perampasan wilayah adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng terus terjadi. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Ketapang pun hingga saat ini belum berhasil.
“Menurut AMAN Kalbar, apa yang dilakukan oleh PT. Mayawana Persada sudah tidak bisa ditoleransi lagi,” ucap Tono.
Oleh karena itu, Tono menambahkan, Aman Kalbar meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mencabut izin perusahaan PT Mayawana Persada, baik izin beroperasi maupun izin produksi. (hyd)
Discussion about this post