JURNALIS.co.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) menyebut, bahwa Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) PT Borneo Alumnia Indonesia (PT BAI) merupakan proyek ambisi Jokowi yang berbahaya bagi lanskap Sungai Kunyit.
Hal ini disampaikan oleh Hendrikus Adam, Direktur Walhi Kalbar dalam diskusi dan diseminasi hasil studi bertajuk “Ambisi Jokowi Bahayakan Lanskap Sungai Kunyit” yang dilangsungkan di Pontianak, pada Jumat 12 Juli 2024.
Apa yang disampaikan tersebut merupakan buah dari studi awal yang dilakukan atas keberadaan salah satu Program Strategis Nasional (PSN), yakni perusahaan yang akan mengolah bauksit menjadi alumunium.
Perusahaan patungan Inalum dan Antam yang mendapat sokongan dana pinjaman dari Tiongkok tersebut rencananya akan operasional pada akhir tahun 2024.
“Lanskap Sungai Kunyit merupakan wilayah yang kaya dengan keanekaragaman hayati, baik di sekitar wilayah perairannya maupun di daratannya. Pada saat yang sama lanskap Sungai Kunyit juga menjadi wilayah kelola bagi rakyat yang sejak lama menggantungkan hidup dan keberlanjutan kehidupannya pada ekosistem sekitar. Jadi jelas, kehadiran SGAR PT BAI ini merupakan proyek ambisius Jokowi yang berbahaya bagi lanskap Sungai Kunyit,” jelas Hendrikus Adam.
Lebih lanjut, Hendrikus Adam menyebut, bahwa dari temuan studi yang dilakukan, pada masa pembangunan pabrik telah terjadi pelanggaran hak asasi warga.
Demikian pula saat akan beroperasi mulai Oktober 2024 mendatang diproyeksikan akan sangat berbahaya bagi keselamatan ekologi berikut biodiveritas sekitar lanskap Sungai Kunyit termasuk bagi warga sekitar yang akan terdampak.
“Selain tanpa konsultasi publik dan tanpa meminta persetujuan bebas tanpa paksaan, proses pembebasan lahan yang sewenang-wenang, juga tidak ada ganti kerugian atas warga korban debu pembangunan pabrik. Sementara, negara menolak menjalankan kewajiban asasinya,” tambah Adam.
Pada sisi lain, Walhi Kalbar mengungkap, bahwa selain proses bayer menghasilkan limbah B3 yakni lumpur merah (red mud), pada tahap operasionalnya juga akan menghasilkan abu PABA dari sisa pembakaran PLTUnya yang tentu akan berbahaya bagi ekologi dan kesehatan warga.
“Sayangnya selama ini tidak ada informasi yang memadai mengenai bagaimana pihak PT BAI akan mengolah limbahnya termasuk juga akan disimpan dimana. Sementara dari proses audiensi yang dilakukan bersama pemerintah di daerah beberapa waktu lalu, kami menyimpulkan bahwa ternyata pemerintah saja tidak memperoleh informasi yang valid bagaimana pengolahan residu bayer yang akan dihasilkan. Hal ini sungguh ironis dan berbahaya bagi keselamatan ekologi dan rakyat sekitar,” jelas Hendrikus Adam.
Sementara itu, terkait dengan limbah lumpur merah (red mud) yang akan dihasilkan, Kepala Dinas Perhubungan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Mempawah, Aswin, menyebut, bahwa rencana awal residu akan ditampung sekitar pabrik di Bukit Batu, namun dalam perjalanannya akan dibawa ke Toho sebagai tempat penyimpanan akhir.
Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan staf Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Perhubungan dan Lingkungan Hidup Mempawah, Huda Rosada. Menurutnya, terkait pengolahan limbah khususnya PT BAI rencana awal mereka akan lakukan di Bukit Batu, tetapi dengan volume yang besar dan luas lahan yang kecil (di Bukit Batu), maka tahun 2022 mulai pembahasan akan dilakukan pemindahan limbah B3nya.
“Kemarin sudah dilakukan pembahasan terkait persetujuan teknis pengelolaan limbah B3 lumpur merah karena kewenangannya ada di pusat (KLHK). Jadi mereka nanti akan membangun lokasi pengolahan (limbahnya) di kecamatan Toho, berbeda dengan lokasi smelternya yang jaraknya sekitar 32 km. Kenapa di Toho secara luas ada lahan Antam di sana, kemudian disana (Toho) juga tanah keras. Jadi secara studi lebih layak berada di Toho,” jelas Huda Rosada.
Sedangkan Khairil Anwar, dari Dinas LHK Kalimantan Barat membaca dokumen paparan PT BAI menyebut, bahwa pihak mereka (perusahaan) akan melakukan penimbunan dimana limbahnya masuk dalam kategori limbah B3 tetapi non toxit.
Adapun Ahmad Syukri dari Link-AR Borneo menyebutkan, bahwa limbah tailing kenyataannya nanti setelah materialnya dicuci, maka nanti akan dialirkan ke dataran yang lebih rendah. Karena itu akan mematikan keanekaragaman hayati yang ada.
Sebelumnya, Rio Pangabumi, perwakilan PT BAI saat berada di kantor Dinas LHK Kalbar pada Selasa (9/7/2024) lalu menyebutkan, bahwa limbah lumpur merah (red mud) akan ditimbun dan diolah menjadi material padat berupa kepingan. Pernyataan ini berbeda dengan apa yang disampaikan Dinas Perhubungan dan Lingkungan Hidup Mempawah.
“Dengan perbedaan informasi terkait dengan pengolahan residu berupa lumpur merah (red mud) yang ada, kami menduga ada sesuatu yang sengaja tidak terungkap terkait dengan proses pengolahan dan lokasi penyimpan limbah oleh perusahaan. Sementara jelas berdasarkan pengalaman dalam praktiknya limbah tersebut lebih masuk akal akan dialirkan ke dataran rendah yang pastinya akan berdampak serius terhadap ekosistem dan keselamatan rakyat sekitar,” ungkap Hendrikus Adam. ***
(R/Walhi Kalbar/Ndi)
Discussion about this post