JURNALIS.co.id – Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Nasional, Uli Arta Siagian, menyampaikan, kabut asap yang telah terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat, merupakan lonceng tanda bahaya darurat Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Sehingga Walhi kembali memperingatkan pengurus negara, bahwa Karhutla ini merupakan kejahatan lingkungan luar biasa.
“Hingga saat ini pengurus negara tidak juga menjawab akar persoalan Karhutla, yaitu rusaknya eskosistem hutan dan Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) akibat aktivitas korporasi sawit dan hutan tanaman industri. Kalau akar persoalan ini tidak diselesaikan oleh pengurus negara, maka sepuluh tahun kedepan rakyat tetap akan selalu jadi korban Karhutla,” ungkap Uli.
Hal tersebut disampaikan Uli, saat Walhi menggelar Konferensi Pers “Waspada Asap, Udara Tidak Sehat, Pemerintah Mesti Sigap” di Sekretariat Walhi Kalbar, pada Jumat, 26 Juli 2024 sore.
Pada 2023 lalu, Walhi telah melaporkan, sebanyak 194 korporasi yang terdapat titik api dan kebakaran di lahan konsesinya.
“Sebanyak 38 korporasi diantaranya merupakan “residivis”, artinya korporasi yang juga terbakar lahannya pada 2015 hingga 2020,” ujarnya.
Hanya saja, pasca pelaporan tersebut, tidak diketahui sejauh mana penegakan hukum yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Deteksi Dini
Kabut asap pekat sendiri sudah mulai menyelimuti Ibukota Provinsi Kalimantan Barat di Kota Pontianak.
Dari pantauan Indek Standar Pencemaran Udara (ISPU) hingga pukul 20.00 WIB pada Kamis malam di angka 132 dengan kategori tidak sehat.
Bahkan hingga hari Jumat (26 Juli 2024) pukul 11.30 WIB angka ISPU 112, masih berada pada kategori tidak sehat.
Dalam beberapa hari terakhir, kondisi udara memang tampak berkabut, karena polusi asap akibat Karhutla.
Walhi Kalbar mencatat, sepanjang Juli 2024 sedikitnya sebanyak 778 titik panas terpantau yang tersebar di berbagai wilayah Kalimantan Barat, kecuali Kota Singkawang dan Kota Pontianak.
Adapun sebaran hotspot dimaksud yakni di Sanggau sebesar 24 % dari jumlah hotspot sepanjang Juli 2024, di Ketapang 15 %, di Landak 12 %, di Bengkayang 11 %, di Kubu Raya 8 %, di Sekadau 8%, di Kapuas Hulu 5%, di Sintang 5%, di Melawi 4%, di Mempawah 3%, di Sambas 3% dan di Kayong Utara 2%.
Sementara pada tahun 2023 lalu, sepanjang 1 hingga 31 Agustus 2023 silam, Walhi Kalbar mencatat sedikitnya sebanyak 7.376 hotspot terpantau pada 235 konsesi (sawit dan HTI) di Kalbar.
Direktur Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, mengungkap, bahwa ditengah bencana asap dengan level kondisi udara yang tidak sehat diharapkan ada upaya deteksi dini berupa informasi yang mudah diakses oleh warga.
Sejauh ini menurut Adam, belum terlihat upaya yang dilakukan pemerintah memastikan warga mengetahui kondisi udara pada level mana dan belum ada juga himbawauan pihak terkait apa yang mesti dilakukan warga agar terhindar dari risiko kesehatan akibat polusi asap.
Demikian juga terkait layanan kesehatan belum disiagakan dalam merespon situasi yang saat ini terjadi.
“Papan informasi ISPU di Kota Pontianak saja kondisinya saat ini tidak berfungsi,” ucap Adam.
Lebih lanjut, Hendrikus Adam menilai, bahwa dalam kondisi udara tidak sehat, negara melalui aparatur pemerintah mestinya bisa lebih sigap memastikan agar hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat warganya terlindungi.
“Jadi negara melalui aparatur pemerintah mesti hadir memastikan perlindungan hak dasar warga atas lingkungan yang baik dan sehat. Penegakan hukum atas konsesi yang diduga terlibat dalam kasus Karhutla juga selama ini masih jauh dari harapan,” tutur Adam. ***
(R/Ndi)
Discussion about this post