Perlu diingat bahwa sejumlah bencana sosial-ekologis yang terjadi akibat praktik ekonomi ekstraktif berbasis sumber daya alam selama ini tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang melahirkan kepala daerah.
JURNALIS.co.id – Kepada para (Pimpinan) Partai Politik baik di daerah maupun di tingkat nasional, proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak seluruh Indonesia tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota akan segera digelar. Tepatnya pada 27 November 2024 mendatang, termasuk juga akan dihelat di Kalimantan Barat.
Sebanyak 37 Provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota di Indonesia yang akan menggelar pemilihan untuk menentukan kapala daerah tersebut. Sementara di Kalimantan Barat ada 12 kabupaten/kota akan menyelenggarakan Pilkada, termasuk Pilkada tingkat provinsi.
Perlu diingat bahwa sejumlah bencana sosial-ekologis yang terjadi akibat praktik ekonomi ekstraktif berbasis sumber daya alam selama ini tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang melahirkan kepala daerah. Sementara kepala daerah memiliki kewenangan memberi legitimasi, baik rekomendasi maupun izin bagi usaha berbasis hutan dan lahan selama ini.
Proses politik yang mahal dikhwatirkan malah memaksa para kontestan pilkada bermanufer dengan menghalalkan segala cara untuk memenangkan hati rakyat. Singkatnya, pilkada rawan menjadi ajang politik transaksional untuk memperoleh ongkos politik dan menukarnya dengan komitmen legitimasi bagi pemilik usaha berbasis hutan/lahan yang malah (berpotensi) menjarah sumberdaya alam di wilayah Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Kalimantan Barat.
Akibatnya, deforestasi dan degradasi lingkungan hidup yang disusul konflik sosial pra maupun pasca pilkada kerap mewarnai ruang hidup rakyat. Karenanya diperlukan komitmen cakada untuk berpihak pada agenda keselamatan lingkungan hidup.
Berbagai bencana ekologis seperti banjir, kebakaran hutan/lahan, longsor dan puting beliung kerap melanda. Sementara kondisi Sungai Kapuas yang kini terus mengalami kerusakan-tercemar-pendangkalan. Selain itu pembabatan hutan masih terjadi. Pada sisi lain, ketidakpatuhan pemilik usaha untuk memulihkan kerusakan ekosistem gambut dalam wilayah konsesinya masih ditemui di lapangan, serta sejumlah masalah lingkunga lainnya masih mewarnai situasi seputar dinamika lingkungan hidup di Kalimantan Barat.
Demikian juga konflik sosial yang kerap mengiringi praktik penyerobotan lahan akibat industri ekstraktif. Sumberdaya alam kerap ditempatkan hanya sebagai komoditas, sementara warga malah diposisikan sebagai objek semata. Prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan (FPIC) kerap diabaikan dalam agenda atas nama pembangunan dan kesejahteraan.
“Jika tidak ada kepedulian serius para calon kepala daerah (cakada) terhadap keselamatan lingkungan hidup dan rakyat di Kalimantan Barat yang diusung parpol, maka dengan sangat sadar dan tegas kami ingin menyampaikan menolak cakada yang abai lingkungan hidup,” ungkap Hendrikus Adam, Direktur Walhi Kalimantan Barat.
“Pilkada yang akan dilaksanakan penting memastikan agar para cakada memiliki komitmen dan peduli lingkungan hidup. Para (pimpinan) parpol tentu saja punya peran untuk memastikan hal ini. Bila tidak ada kepedulian cakada, maka kepada siapa rakyat harus berharap jika kelak mereka terpilih tetapi tidak peduli pada lingkungan hidup, rumahnya sendiri ?,” tambah Hendrikus Adam.
Lebih lanjut, menurut Hendrikus Adam, cakada yang tidak peduli lingkungan hidup tidak diharapkan untuk memimpin daerah. Karena akan berbahaya bagi keselamatan lingkungan hidup dan rakyat.
“Dengan tegas, kami menolak cakada yang abai lingkungan hidup,” ujar Adam.
“Kami dengan sadar dan tegas menyampaikan menolak cakada yang tidak peduli lingkungan hidup dalam perhelatan Pilkada yang akan dilangsungkan 27 November 2024 mendatang. Selain itu juga akan melakukan tracking visi-misi kontestan dan mengumumkan hasilnya kepada agar publik mengetahui gagasan mereka soal lingkungan hidup,” jelas Hendrikus Adam.
Pada perhelatan Pilkada, Walhi Kalimantan Barat juga mengharapkan tidak adanya fenomena kotak kosong atau satu pasang cakada pada Pilkada mendatang. Sebab dengan demikian menggambarkan kemunduran dan tidak sehatnya demokrasi, sementara kepentingan elit malah tampak dominan.
“Demikian kiranya harapan yang dapat disampaikan, agar menjadi perhatian serius para cakada beserta (pimpinan) partai politik pengusungnya. Sekali lagi, kami MENOLAK CAKADA ABAI LINGKUNGAN HIDUP !,” tutup Adam. ***
(R/Ndi)
Discussion about this post