JURNALIS.CO.ID – Bupati Ketapang, Martin Rantan rela mengambil cuti di luar tanggungan negara untuk mengampanyekan pasangan Farhan-Leonardus Rantan. Cuti tersebut menuai sorotan sejumlah pihak dan dinilai terlalu berlebihan.
Pengajuan cuti Martin diketahui melalui surat resmi nomor 869/SETDA-TAPEM.100/2024 tentang Permohonan Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun 2024 ditujukan ke Gubernur Kalimantan Barat pada 21 Oktober lalu.
Dalam surat itu, Martin mengajukan cuti berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara, serta Surat Edaran Mendagri nomor 100.2.1.3/4204/SJ tanggal 30 Agustus 2024, Hal Penegasan Terkait cuti di luar Tanggungan Negara bagi Kepala Daerah.
Diketahui, cuti di luar tanggungan negara pada masa kampanye dilakukan setiap hari Jumat. Terhitung sejak minggu ketiga bulan Oktober 2024 sampai minggu ketiga bulan November 2024.
Ironisnya, di tengah masa cuti kampanye, tepatnya pada Jumat (25/10/2024) kemarin, Martin Rantan bersama seluruh kepala OPD dan perangkat daerah lainnya menggelar kunjungan kerja di beberapa kecamatan dan mulai berangkat pada Jumat menuju Kecamatan Jelai Hulu.
Wakil Ketua DPRD Ketapang, Syaidianur mengaku sudah mendengar keluhan masyarakat, baik melalui media sosial maupun bertemu langsung tokoh-tokoh yang peduli dengan Pilkada Ketapang, mereka mempertanyakan izin cuti sang kepala daerah.
“Artinya ketika bupati ‘cawe-cawe’, meski cuti untuk kampanye, tentu patut kita duga ada beberapa fasilitas negara digunakan. Bahkan dalam kunjungan mereka ke lapangan di Jelai Hulu, disertai membagikan bansos contohnya. Mestinya saat cuti, harus melepaskan diri sebagai pejabat,” kata Syaidianur.
Syaidianur mengaku kalau dirinya merupakan kader partai yang mengusung calon juga pernah cuti selama tiga hari. Namun dia melepaskan diri sebagai unsur pimpinan DPRD, tidak menggunakan dan membawa atribut maupun fasilitas apapun.
“Kita harap bupati juga begitu. Nah pertanyaan di masyarakat pun muncul, apa yang membuat Pak Bupati harus sampai ‘cawe-cawe’? Apakah belum ikhlas dengan dua periode menjabat, kalau belum ikhlas melepaskan, harusnya nyalon gubernur lagi kalau masih berkekuatan,” ungkapnya.
Syaidianur menyebut, dari kacamata fungsi pengawasan, bahwa DPRD bisa saja meminta keterangan bupati dengan hak interpelasi. Apalagi informasi yang beredar ada kaitan dengan bansos yang dibiayai APBD, sedangkan APBD di bawah fungsi pengawasan dewan.
“Kemarin kami di Nasdem membahas ini di tingkat fraksi bahwa kita tidak ingin ada ‘cawe-cawe’ sejauh ini. Kalau bicara kepentingan, sah saja bupati tidak netral. Tapi jangan gunakan fasilitas negara,” jelasnya.
“Harus bisa menempatkan diri jika cuti kampanye. Jangan sampai membuat masyarakat beropini negatif, sebab bisa saja orang berpandangan kok luar biasa memberikan dukungan sampai harus memanfaatkan fasilitas jabatan, apa sih dasarnya sampai harus turun ke lapangan, apakah ada ketakutan yang bakal terjadi?” cetusnya.
Menurutnya, semua paslon yang hari ini berkontestasi tentu merupakan orang-orang baik dan punya nilai di mata masyarakat, sehingga tidak perlu ada upaya cawe-cawe. Semua ingin pilkada berjalan damai dan jangan terbelah hanya karena adanya cawe-cawe, karena siapapun yang terpilih itulah pilihan masyarakat.
“Untuk Bawaslu kita minta tegas, sebagai wasit jangan condong dan terkesan memihak, jangan buat masyarakat kecewa dan mosi tidak percaya yang nantinya akan muncul,” tambahnya.
Sementara itu, satu di antara warga Ketapang, Riza menyayangkan sikap Bupati Ketapang yang harus sampai mengambil cuti untuk mengkampanyekan salah satu pasangan calon yang maju di Pilkada Ketapang.
Menurutnya apa yang dilakukan Bupati Ketapang tentu membuat masyarakat, termasuk dirinya berpikir jika Bupati hanya bicara kepentingan pribadi.
“Memang yang maju adiknya, cuma secara etika harusnya bupati bersikap netral. Kalau bicara kepentingan Ketapang, biarkan semua calon yang berkontestasi berikhtiar, kalau seperti ini kesannya ingin ‘cawe-cawe’,” tuturnya.
Ia berpandangan, apa yang dilakukan itu bentuk kekhawatiran kekalahan sang adik pada Pilkada Ketapang. Sehingga harus turun tangan dan ini dikhawatirkan akhirnya dapat menggunakan kewenangan dan fasilitas negara untuk kepentingan tertentu.
“Cuti tidak dilarang, tapi kalau mau fair kenapa tidak cuti selama kampanye. Artinya tidak ada peluang dan ruang Bupati memanfaatkan jabatan dan fasilitas negara. Tapi kalau cuti cuma sehari dalam setiap minggu, kan itu membuat kita berpikir ada apa ini?” pungkasnya. (lim)
Discussion about this post