
JURNALIS.CO.ID – Aliansi Buruh Kebun Sawit Kalimantan Barat yang terdiri dari FSPBR Sambas, SERBUK Kalbar, GSBI Bengkayang, dan SBK-KB Kubu Raya bersama Link-AR Borneo melakukan audiensi dengan Komisi V DPRD Provinsi Kalbar, Kamis (8/5/2025), guna menyuarakan aspirasi perlindungan buruh sawit.
Kedatangan mereka diterima langsung oleh anggota Komisi V DPRD Kalbar, yaitu Fatahillah Abrar, Mohammad Darwis, dan Ermin Elviani.
Fatahillah Abrar menyatakan bahwa audiensi ini membahas berbagai permasalahan yang dihadapi para buruh sawit, khususnya terkait pelanggaran hak-hak tenaga kerja yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan.
“Beberapa organisasi buruh sawit menyampaikan bahwa mereka belum mendapatkan hak-haknya secara layak. Banyak praktik perusahaan yang dinilai melanggar regulasi,” ujar Fatahillah.
Ia menilai perlunya regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur dan melindungi buruh sawit.
“Dari pertemuan ini, kami menyimpulkan bahwa harus ada Perda yang bisa menjamin pemenuhan hak-hak buruh dan memastikan perusahaan mematuhi aturan,” tegasnya.
Senada dengan itu, Ermin Elviani juga menyatakan dukungannya terhadap pembentukan Perda inisiatif dewan. Ia menyoroti perlakuan tidak adil yang dialami para buruh, terutama buruh harian lepas.
“Kami sempat mendengar curhatan mereka, dan memang terasa sekali ketidakadilan yang dialami. Banyak dari mereka seperti dizalimi dalam pekerjaannya,” ungkap Ermin.
Ahmad Syukri, Ketua Link-AR Borneo sekaligus juru bicara Aliansi Buruh Sawit Kalbar, menegaskan bahwa perlindungan hukum sangat dibutuhkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang selama ini menimpa para buruh.
“Kami mendesak pemerintah provinsi untuk segera membuat Perda perlindungan buruh sawit, dan juga meminta pemerintah pusat segera mengesahkan RUU perlindungan buruh sawit,” kata Ahmad.
Ia menyebutkan sejumlah masalah mendasar yang harus segera diatasi, salah satunya adalah pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang masih jauh dari memadai, khususnya dalam penggunaan bahan kimia berbahaya seperti paraquat.
“Penggunaan paraquat di sektor sawit masih sangat tinggi. Padahal, bahan kimia ini sudah ditinggalkan oleh banyak negara karena dampak buruknya terhadap kesehatan, terutama bagi pekerja perempuan,” jelasnya.
Selain itu, ia menyoroti buruknya kondisi alat kerja yang masih tradisional dan tidak manusiawi. Alat seperti dodos, egrek, dan parang dianggap terlalu berat untuk digunakan dengan target kerja yang sangat tinggi.
“Teknologi kerja di kebun sawit sangat ketinggalan zaman. Beban kerjanya tidak masuk akal dan sangat memberatkan buruh,” tegasnya.
Ahmad juga menyoroti minimnya fasilitas dasar seperti toilet, tempat bilas, dan pondok istirahat di areal kebun. Meski memiliki beban kerja tinggi dan risiko besar, banyak buruh sawit yang hidup jauh dari kata sejahtera.
“Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan wilayah kebun sawit terluas di Indonesia, tapi kontribusinya terhadap kesejahteraan buruh sangat rendah,” ungkapnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan perlunya perubahan sistemik. “Dengan beban kerja tinggi, target yang berat, dan perlindungan yang minim, buruh sawit saat ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,” tutup Ahmad Syukri.[den]
Discussion about this post