
JURNALIS.co.id – Perencanaan dan penganggaran yang kurang tepat disebut menjadi faktor yang meningkatkan risiko terjadinya korupsi di Kalimantan Barat.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Kalimantan Barat, Rudy M. Harahap, saat memaparkan hasil evaluasi perencanaan dan penganggaran tahun 2025.
Pemaparan tersebut dilakukan dalam forum yang difasilitasi secara daring oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (21/05).

Dalam paparannya, Rudy menegaskan pentingnya pengelolaan risiko korupsi dan efisiensi penggunaan anggaran oleh pemerintah daerah.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mengenai Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD juga menjadi dasar dalam mendorong penerapan efisiensi anggaran secara optimal.
“Tantangan efisiensi anggaran adalah bagaimana mengalokasikan anggaran dengan baik dan memastikan bahwa strategi efisiensi diterapkan dengan tepat,” ungkap Rudy.
Evaluasi yang dilakukan BPKP mengungkapkan adanya ketimpangan besar dalam alokasi anggaran antara pemerintah daerah maupun antar sektor.
Misalnya, anggaran sektor kesehatan di Kabupaten Kubu Raya mencapai Rp298,42 miliar, sementara di Kabupaten Sekadau hanya Rp2,93 miliar.
Ketimpangan serupa juga ditemukan pada alokasi anggaran pengentasan kemiskinan, dengan Kabupaten Landak mencatat alokasi tinggi, namun sejumlah daerah lain masih rendah.
“Hal tersebut mengindikasikan belum adanya standar intervensi baku yang bisa menjadi acuan pemerintah daerah,” tambahnya.
Lebih lanjut, evaluasi juga menyoroti banyaknya sub-kegiatan yang tidak memiliki relevansi, logika, atau kemungkinan keberhasilan yang rendah.

“Di sektor pendidikan, misalnya, sebagian besar anggaran difokuskan pada aspek aksesibilitas, sementara pada aspek mutu pendidikan mendapat alokasi yang sangat rendah,” jelas Rudy.
Kondisi tersebut, menurutnya, berisiko menyebabkan tujuan pembangunan di bidang pendidikan tidak tercapai.
Hal serupa juga ditemukan di sektor penanggulangan kemiskinan, di mana anggaran banyak diarahkan pada bantuan sosial, namun masih minim untuk program-program peningkatan pendapatan seperti pelatihan dan kewirausahaan.
“Hasil evaluasi ini dapat digunakan oleh KPK sebagai alat surveilance dalam menangani potensi atau risiko korupsi di daerah,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Rudy juga menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis untuk perbaikan. Pertama, ia menyarankan agar sasaran strategis pemerintah daerah diselaraskan kembali, termasuk indikator dan target pada level pemda dan organisasi perangkat daerah (OPD).
Kedua, pelaksanaan program/kegiatan/sub kegiatan harus dilakukan secara vertikal melalui cascading atau mirroring, serta horizontal melalui integrasi lintas OPD.
Ketiga, hasil evaluasi perlu dijadikan dasar dalam pergeseran anggaran, dengan menekankan prioritas pada program yang mendukung Asta Cita dan Quick Wins Presiden Prabowo, serta menjadi pengungkit capaian indikator kinerja utama kepala daerah.
Di akhir pernyataannya, Rudy meminta agar kepala Bappeda di daerah mengambil peran lebih tegas dalam mengontrol proses perencanaan dan penganggaran.
“Kepala Bappeda bukan hanya tukang kompilasi usulan rencana, tetapi harus lebih tegas dan berani menolak usulan yang tidak relevan dan tidak logis dalam mencapai tujuan pemerintah daerah.” tutupnya. (Den)

Discussion about this post