
JURNALIS.co.id — Tubuh kecil itu terbaring kaku bersama sang ibu di bawah Jembatan Landak, Siantan, Pontianak Utara. Usianya baru sembilan tahun.
Seorang anak jalanan, berkebutuhan khusus, yang mengais rezeki sebagai pengamen. Malang, ia menjadi korban kekerasan keji, dipukul, disiksa, lalu dibiarkan meregang nyawa oleh APR, pria yang diketahui sebagai pacar ibunya.
Tragedi ini tak hanya mengguncang hati, tapi juga memunculkan pertanyaan besar, di mana peran negara?
Pemerintah Kota Pontianak dan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) nyaris tak terdengar suaranya. Tak ada pernyataan resmi, tak ada langkah cepat, tak ada empati kelembagaan.
Yang muncul justru tumpukan pertanyaan di mana mereka saat anak-anak terlantar di jalanan, dan bahkan tewas di jalanan.
“Hati kita miris. Ini tidak boleh hanya jadi berita sesaat, lalu dilupakan begitu saja,” tegas H.M. Fauzie, tokoh masyarakat Pontianak Utara, Sabtu (31/5/2025).
Fauzie melontarkan kritik tajam kepada KPAD Kota Pontianak yang dinilainya pasif dan jauh dari lapangan, padahal medan sesungguhnya jalan raya, kolong jembatan, lampu merah, adalah tempat anak-anak seperti korban biasa bertahan hidup.
“KPAD jangan hanya duduk di ruang rapat ber-AC. Pencegahan tak cukup lewat seminar atau baliho. Turun ke jalan, lihat sendiri dengan mata kepala, bagaimana anak-anak ini hidup tanpa perlindungan sedikit pun,” tegasnya.
Tak hanya KPAD, Pemkot Pontianak juga disorot keras karena dinilai gagal membangun sistem deteksi dini dan jaring pengaman sosial bagi anak-anak marginal.
Anak-anak jalanan bukan fenomena baru, setiap hari mereka terlihat di persimpangan, mengamen, meminta-minta, tanpa ada upaya intervensi yang serius.
“Itu anak-anak kita juga. Pemerintah seharusnya tahu di mana mereka tinggal, siapa orang tuanya, bagaimana kondisi pendidikannya. Jangan tunggu ada yang mati dulu baru ribut,” sindir Fauzie.
Menurutnya, tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi total sistem perlindungan anak di Pontianak.
Ia menyerukan pembentukan tim terpadu yang melibatkan polisi, Dinas Sosial, KPAD, hingga elemen masyarakat sipil untuk menyisir dan menangani masalah anak jalanan secara menyeluruh, bukan sekadar reaktif saat ada kasus tragis.
Kritik ini menggema sebagai bentuk kekecewaan publik atas absennya keberpihakan negara pada warga paling rentan.
KPAD seolah hanya hadir di atas kertas, sementara Pemkot terlihat lebih sibuk mengurus urusan teknis kota daripada menata kehidupan anak-anak di jalan.
“Anak-anak jalanan bukan cuma soal ketertiban. Mereka adalah cermin kegagalan kita bersama,” tutup Fauzie.
Kini, satu nyawa telah hilang. Bukan karena semata-mata takdir, tetapi karena kelalaian kolektif.
Di kota yang mengklaim ramah anak, seorang bocah justru meregang nyawa dalam sunyi, di bawah jembatan — tanpa sempat direngkuh tangan negara. (Zrn)
Discussion about this post