
JURNALIS.CO.ID – Proyek rehabilitasi jaringan irigasi di Tambak Rawang, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, yang digarap PT PP, menuai persoalan.
Dugaan pelanggaran Surat Perintah Kerja (SPK) mencuat setelah pekerjaan normalisasi irigasi dengan excavator yang disubkontrakkan kepada pihak ketiga dihentikan di tengah jalan.
Penyedia excavator, Watan, mengungkapkan bahwa berdasarkan kesepakatan, volume pekerjaan yang diberikan kepadanya adalah 1.200 meter dengan nilai Rp60 juta.
Namun, PT PP menghentikan pengerjaan sebelum selesai dengan alasan lokasi masuk kawasan hutan lindung.
“Kesepakatan awal 1.200 meter. Kita baru mengerjakan kurang lebih setengah, tapi tiba-tiba dilakukan penghentian. Bahkan pembayaran dilakukan sesuai hasil akhir pekerjaan, tidak menyeluruh,” ujar Watan, Selasa (30/9/2025).
Ia menambahkan telah meminta lokasi lain agar volume pekerjaan bisa terpenuhi sesuai SPK. Namun, permintaan itu tidak ditindaklanjuti.
“Kita sudah meminta lokasi lain agar volume pekerjaan bisa cukup. Saat itu mereka beralasan masih rapat. Tapi sampai hari ini tidak ada juga, bahkan kita hanya dibayar separuh,” lanjutnya.
Menurut Watan, perusahaan seharusnya tidak keluar dari SPK yang telah disepakati.
“Kalau kita acuannya SPK. Di situ jelas sekali nilai dan volume pekerjaan. Jadi saya kira, kalau kita distop saat proses pengerjaan, perusahaan harus tanggung jawab. Apalagi kita tidak salah, yang salah kan mereka dalam menentukan lokasi,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan PT PP, Prasetyo Ramadhan, membenarkan adanya kontrak dengan penyedia alat senilai Rp60 juta. Namun, ia menekankan bahwa pembayaran berdasarkan volume hasil opname di lapangan.
“Memang di lapangan, pekerja sudah mengerjakan galian dengan excavator sepanjang 570 meter. Nilai yang kita bayar Rp28.500.000 sesuai hasil opname, bahkan kita tambah menjadi Rp33.150.000,” jelas Prasetyo.
Ia juga memaparkan bahwa sebagian pekerjaan kemudian diubah menjadi manual atas permintaan desa.
“Jadi 570 meter dikerjakan pakai alat, selebihnya manual. Sebab ada permintaan dari desa juga, dan bukan dari kita,” katanya.
Prasetyo menambahkan, soal lokasi masuk kawasan hutan lindung terjadi akibat miskomunikasi.
“Ternyata galian yang diarahkan pihak desa itu masuk kawasan Taman Nasional,” ujarnya.
Kasus ini masih menyisakan ketidakpuasan penyedia alat yang merasa dirugikan, sementara kontraktor berpegang pada aturan pembayaran sesuai hasil opname.[lim]




















Discussion about this post