– Narapidana kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) akhirnya bisa memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat. Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi sejumlah Pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Mengutip cnnindonesia.com, PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan itu sendiri memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), yakni narkoba, korupsi, dan terorisme.
“Putusan: Kabul HUM (Hak Uji Materiil),” demikian bunyi putusan yang telah dibenarkan oleh Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro.
Putusan itu menindaklanjuti uji materi yang dilayangkan oleh Subowo dan empat orang lainnya yang merupakan kepala desa serta warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Sukamiskin, Bandung.
Perkara nomor: 28 P/HUM/2021 itu diputus pada 28 Oktober 2021. Adapun susunan majelis yang menangani uji materi yaitu hakim ketua Supandi dengan hakim anggota masing-masing Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono.
Dalam pertimbangannya, hakim berujar bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera, akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki).
Narapidana, menurut hakim, bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya– sewaktu-waktu dapat khilaf dan dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas. Namun, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
Berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, maka rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksana UU Nomor 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yakni memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.
“Berkaitan dengan hal tersebut, maka sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan hak-nya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan,” kata hakim.
Hakim mengatakan persyaratan mendapat remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan. Adapun syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok remisi terhadap narapidana semestinya dapat dikonstruksikan sebagai bentuk reward berupa pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan.
“Kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan,” ucap hakim.
Dalam putusan perkara itu, hakim menyatakan remisi dapat diberikan kepada warga binaan yang sudah mengembalikan kerugian keuangan negara dan warga binaan yang tidak menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan tujuan pembinaan.
Uji materi ini menyasar Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, maka pemberian remisi kembali merujuk pada PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan.
Syarat pemberian remisi bagi semua napi itu antara lain berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas.
Discussion about this post