JURNALIS.co.id – Pasca PT Inti Sawit Lestari (ISL) menyelamatkan kerugian negara atas pemenang lelang lahan perkebunan PT Benua Indah Group (BIG) membuat BGA Group merasa dipermainkan atas proses lelang yang dilakukan oleh lembaga negara.
Sebab, hasil proses lelang yang telah mereka menangi lewat prosedur resmi dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pontianak melalui Pengadilan Negeri Ketapang berdasarkan Risalah Lelang Nomor 134/2015 26 Mei 2015, saat ini diklaim sejumlah masyarakat sebagai lahan perkebunan mereka.
Direktur Utama PT ISL, Kamsen Saragih mengatakan, sebelum pihaknya masuk atau tepat saat terjadinya ke vakuman PT BIG di wilayah Sungai Melayu Ketalang membuat merosotnya perekonomian masyarakat di sekitar perkebunan, serta terjadi demonstrasi berjilid-jilid kala itu.
“Atas dasar kondisi tersebut, Bupati Ketapang mengundang PT BGA untuk mendiskusikan peluang masyrakat agar dapat menjual TBS sawit di PKS PT BGA. Dalam diskusi disepakati bahwa PT BGA dapat menerima TBS petani di PKS BGA di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, karena PT BGA belum memiliki PKS di Kalimantan Barat,” kata Kamsen.
Ketika akan diadakan lelang, lanjut Kamsen, yang kesekian kalinya terhadap aset PT BIG di sekitar Sungai Melayu, PT BGA juga diimbau Pemda Ketapang untuk mengikutinya. Hal di atas selaras dengan pernyataan tokoh masyarakat belasan desa yang beraudiensi dengan PT BGA dan meminta untuk mengikuti lelang.
Dimana, sambung dia, kalau dalam pelaksana lelang asset PT BIG dan yang dijadikan agunan kredit di Bank Mandiri adalah Badan Lelang Negara melalui KPKNL dan dilaksanakan oleh pengadilan Negeri Ketapang pada tanggal 8 April 2015.
Saat itu, pihaknya mengikuti lelang dengan bendera PT ISL dan dinyatakan sebagai pemenang lelang dengan nilai penawaran Rp160.040.820.150 yang tertuang dalam risalah lelang No 134/2015 tanggal 8 April 2015 dengan luas kebun 11.518 Ha.
Semunya terdiri dari tiga PT. Di antaranya PT Subur Ladang Andalan (SLA) yang berubah nama menjadi PT Wahana Hijau Indah (WHI) seluas 4.397 Ha, PT Duta Sumber Nabati (DSN) yang berubah nama menjadi PT Sentosa Prima Agro (SPA) seluas 3.087 Ha serta PT Bangun Maya Indah (BMI) selanjutnya berubah nama menjadi PT Raya Sawit Manunggal (RSM) seluas 4.034 Ha.
Kemudian dari hasil verifikasi fisik di lapangan setelah memenangkan lelang, ditemukan fakta bahwa semua bangunan objek lelang termasuk PKS rusak, infrastruktur seperti jalan jembatan hancur, dan perekonomian masyrakat sangat sulit, luas tanaman inti eks PT BIG hanya seluas kurang lebih 4.600 Ha dikelola oleh masyarakat sejak PT BIG vakum.
“Sisa areal seluas 6.918 Ha tidak dapat dikuasai karena terdapat SHM masyrakat, kebun masyarakat, pemukiman dan adanya izin baru PT lain. Selanjutnya juga muncul dua peta HGU yang berbeda, yaitu peta yang dikeluarkan oleh BPN terjahit dalam SK HGU dan peta lain yang juga diterbitkan oleh BPN,” jelasnya.
Kamsen mengaku, saat itu langkah operasional yang telah dilakukan setelah memenangkan lelang yakni sosialisasi hasil lelang dan Langkah yang akan dilakukan di 22 desa transmigrasi, maupun desa asal.
Saat itu, seluruh desa mendukung kehadiran PT ISL dan meminta diprioritaskan perbaikan jalan dan jembatan. Terhadap tanaman sawit inti yang selama ini dikelola oleh masyarakat selama PT BIG vacum, masyarakat menyatakan akan menyerahkan kebun tersebut kepada PT ISL dengan permohonan diberikan tali asih sebagai imbalan atas perawatan kebun.
“Jadi kita telah memperbaiki jalan jembatan, terutama yang menghubungkan antar Desa atau antar kebun terisolir dengan nilai kurang lebih Rp5 miliar. Pembayaran ganti rugi pola tali asih perawatan tanaman inti selama di Kelola masyarakat senilai Rp8.398.000.000 untuk 1.142 petani dengan luasan 5.175 Ha,” ungkapnya.
“Selain itu melakukan replanting tanaman inti yang sudah tidak produktif seluas kurang lebih 4.600 Ha. Itu dilakukan setelah dibayarkan tali asih kepada masyarakat yang mengelola selama PT BIG vakum. Dengan demikian hak keperdataan masyarakat atas kebun inti yang dikelolanya selama PT BIG vakum telah dilepaskan,” timpalnya.
Sedangkan soal kontroversi dua peta HGU, ditegaskannya kalau PT ISL mendapatkan dokumen HGU dari lelang negara yang sah dan tidak pernah ada yang keberatan saat diumumkan sebelum lelang maupun setelah lelang.
Bahkan pihaknya telah bersikap akomodatif untuk penyelesaian adanya dua peta SK HGU meskipun sangat merugikan PT ISL, agar pemegang regulasi untuk memberikan solusi yang adil dan bijaksana serta tidak semakin merugikan investor.
“Kalau mau menilai secara jujur dimana letak kesalahan kami, karena kami mendapatkan areal dari lelang negara yang sah dengan nilai Rp160 Miliar dari luasan HGU 11.518 Ha. Namun hanya dapat dikelola seluas 5.175 Ha, sisa seluas 6.343 Ha berupa SHM masyarakat, izin baru PT lain, dan perladangan masyarakat. Kondisi demikian tidak membuat kami gelap mata menggusur lahan tersebut,” terangnya.
Untuk itu, terkait tuntuan masyarakat Desa Segar Wangi, pihakya menegaskan jika telah menunaikan kewajiban pembayaran sebagai pemenang lelang senilai Rp160.040.820.150. Dan telah membayarkan ganti rugi pola tali asih kepada masyarakat untuk areal eks inti PT BIG sebelum dilakukan replanting, termasuk areal yang dibayarkan kepada masyarakat desa Segar Wangi.
“Bukan kah berarti masyarakat desa Segar Wangi telah melepaskan hak keperdataanya, contohnya saja ketua tim investigasi dusun Mambuk – Desa Segar Wangi atas nama Basuni telah menerima pembayaran tali asih senilai Rp56.725.000 untuk luasan 21,81 Ha. Namun dalam beberapa bulan terakhir mempelopori beberapa kali demo menuntut kebun untuk masyarakat. Dasarnya apa,” lanjut dia.
Belum lagi, tambahnya, areal izin baru yang masuk desa Segar Wangi juga telah ditanda tangani kesepakatan kemitraan inti plasma 80:20 antara perusahaan dengan pihak desa.
Sedangkan pola areal inti yang diperoleh dari hasil lelang dan telah direplanting oleh PT ISL menurut DIRJENBUN melalui surat No 453/KB-410/E.6/03/2022 tanggal 24 Maret 2022 tidak dikenai kewajiban plasma karena telah mejalankan pola Pirtrans.
“Dari kami mengajak, mari kita berpikir jernih bahwa membaiknya kondisi sosial ekonomi di daerah Sungai Melayu saat ini bukan serta merta berubah tanpa peran serta PT ISL dan Kerjasama dengan banyak pihak. Paling tidak bagi sebagian masyarakat 12 desa di daerah ini menolak lupa bahwa mereka pernah mengalami masa sulit beberapa tahun lalu karena terpuruknya PT BIG,” kenangnya. (lim)
Discussion about this post