Oleh: Muhammad Azmi
MASA penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada tahun ajaran baru cukup menyita perhatian publik, baik itu dari segi sistem, porsi hingga mekanisme penerimaan. Psikologi masyarakat yang ingin anaknya masuk ke sekolah yang diyakini sebagai sekolah favorit menjadi problematika tersendiri dan seolah bertentangan dengan sistem zonasi yang bertujuan untuk pemerataan agar tidak menumpuk atau over kapatitas di sekolah tertentu.
Ironi, demi memasukkan anak ke sekolah favorit orang tua rela menggunakan jalur yang justru merusak martabat dunia pendidikan, di antaranya diduga dengan cara membayar, jalur orang dalam (nepotisme) atau menggunakan oknum yang memiliki kekuasaan dan sebagainya. Ibarat menanam, jika sedari awal dengan cara yang tidak baik, maka pertumbuhan sampai proses panen hasilnya pasti tidak baik. Sebisa mungkin praktik jahat dalam dunia pendidikan harus dicegah agar marwah dan martabat dunia pendidikan sebagai kaderisasi generasi penerus bangsa tetap bersih dan terjaga.
Pihak penyelenggara yang bertanggung jawab harus mempunyai prinsip dan sikap yang tegas untuk memastikan PPDB berjalan sesuai prosedur yang telah ditetapkan, yakni dengan tetap sesuai jalur zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua dan prestasi. Apalagi sampai dipaksakan dengan harus menambah rombel di luar kuota yang ditetapkan, sehingga sekolah lain menjadi kekurangan peserta didik dan menimbulkan perasaan tidak adil di tengah masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri persepsi masyarakat tentang sekolah favorit masih dominan dalam pemilihan tempat anak menempa ilmu. Apalagi saat ini ada istilah sekolah penggerak yang otomatis akan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi negara sebagai penyelenggara proses pendidikan untuk menggeser stigma masyarakat dengan menghadirkan standar dan kualitas yang merata di sekolah tanpa ada embel-embel atau klasifikasi sekolah tertentu khusus sekolah negeri.
Berbeda dengan sekolah swasta yang mempunyai wilayah otonom tersendiri dalam menentukan standar yang ingin dicapai untuk branding sekolah. Demikian pula dengan proses pembangunan sumber daya sekolah yang tentunya harus seimbang tanpa jurang kesenjangan yang dalam antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain.
Definisi sekolah favorit sejatinya adalah prestasi sekolah secara kolektif yang biasa diukur dari fisik seperti megahnya gedung, fasilitas dan sarana prasarana, kualitas guru dan non fisik seperti akreditasi sekolah maupun prestasi siswa dalam bidang tertentu atau output dari lulusan (alumni).
Hal tersebut memang menjadi faktor penunjang untuk keberhasilan pencapaian anak dalam belajar, namun juga tidak selamanya relevan jika diukur dari setiap individu anak/peserta didik. Artinya tidak menjadi jaminan 100 persen anak yang sekolah di sekolah favorit akan menjadi pribadi yang unggul, begitu juga sebaliknya.
Faktor yang paling dasar untuk kesuksesan anak mulai dari kecerdasan emosional (EQ) maupun intelektual (IQ) anak, yakni tumbuh dari niat dan motivasi belajar anak serta persepsi yang terbentuk dalam benak anak dalam memaknai pendidikan yang didukung sepenuhnya oleh orang tua dengan memberi perhatian/pengawalan optimal dalam proses pendidikan anak serta lingkungan sosial masyarakat yang kondusif bagi anak.
Sekolah hakikatnya hanya reflektor yang merangsang tumbuh kembang anak baik dari ilmu pengetahuan maupun kepribadian, tetapi tidak begitu berarti atau tidak maksimal hasilnya jika tidak follow-up oleh komponen di luar sekolah terutama lingkungan keluarga terlepas latar belakang sekolah favorit atau tidak. Karena intensitas waktu anak bukan di sekolah melainkan dengan orang tua dan lingkungan sosial yang membentuk culture dalam pribadi anak.
Skor IQ yang tinggi dan sekolah mahal berstandar internasional ternyata bukan jaminan bahwa seorang anak akan sukses di masa depan. Penelitian menunjukkan ada prediktor yang jauh lebih penting daripada sekolah bergengsi atau nilai rapor yang bagus. Dan hal itu adalah ketekunan. Menurut psikolog anak dan ahli parenting, Michele Borba, ketekunan adalah kemampuan nomor satu yang bisa mendukung kesuksesan anak di masa depan.
Menurut Michele, anak-anak yang memiliki ketekunan dan tidak mudah menyerah memiliki kepercayaan diri yang tinggi bahwa usaha mereka akan membuahkan hasil baik. Dengan demikian, anak tetap termotivasi untuk bekerja keras dan menyelesaikan apa yang mereka mulai, walaupun ada banyak kendala dalam prosesnya.
Sebuah studi oleh Massachusetts Institute of Technology menemukan bahwa anak-anak berusia 15 bulan dapat mempelajari ketekunan jika orang tua mereka mencontohkan perilaku tersebut. Dalam hal ini kembali penulis tegaskan jika orang tua sangat memiliki peran dominan untuk keberhasilan pendidikan.
Penulis menarik kesimpulan jika favorit atau tidaknya sekolah tersebut bukan merupakan menjadi indikator utama pencapaian akademik maupun integritas anak di masa depan, ambisi untuk masuk sekolah favorit itu merupakan hal yang lumrah dan menjadi impian semua orang namun jika terlalu ambisius/nekat sehingga menggunakan cara yang tidak elok maka disitulah sebenarnya letak masalah.
Jadilah Siswa Terbaik
Demikian pula halnya dengan peserta didik, tidak lolos masuk ke sekolah favorit atau sekolah impian jangan sampai menjadi sumber putus asa yang dapat menghilangkan semangat berproses untuk menjadi insan yang baik. Menjadi pribadi terbaik adalah hak semua orang tanpa dibatasi ruang lingkup tempat dimana ia berada, dalam hal ini sekolah. Terlalu sempit jika kita berpikiran seperti itu.
Untuk menjadi yang terbaik tidak hanya terpaku dengan menu yang disediakan sekolah, bisa didapat di luar sekolah atau lingkungan ekternal. Apalagi akses informasi saat ini terbuka lebar tanpa jarak dan waktu yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas diri secara mandiri. Kuncinya ada pada etos pribadi untuk selalu menjadi yang terbaik dengan menjaga pola pikir positif tumbuh dalam diri.
Tidak sedikit kita menemukan sosok yang sukses, individu yang berkualitas, namun berasal dari lingkungan sosial yang biasa atau alumni dari sekolah yang biasa. Tidak sedikit pula prestasi diukir justru dari tempat yang biasa. Ketika ada niat untuk berproses secara sungguh-sungguh dengan cara yang tangguh maka di situlah keberhasilan/kesuksesan akan direngkuh. Intinya proses yang baik akan mendatangkan hasil yang baik jua, begitu juga sebaliknya. Tetaplah menjadi siswa terbaik walaupun tidak berasal dari sekolah favorit. (*)
Penulis: Guru SMP Negeri 3 Parindu, Kabupaten Sanggau
Discussion about this post