Oleh: Rosadi Jamani
CERITA korupsi sebenarnya malas. Dihajar habis-habisan tetap saja korupsi merajalela. Logika Fahri Hamzah, untuk apa KPK kalau korupsi makin menjadi-jadi. Bubarkan KPK.
Mestinya dengan adanya KPK, korupsi turun. Orang menjadi takut makan duit rakyat, takut disogok, apalagi nyogok. Nyatanya tidak demikian wak. Korupsi malah berevolusi dari masa ke masa.
Masih ingat ndak ungkapan umum di masyarakat, “Dulu korupsi itu di bawah meja. Malu-malu, diam-diam. Lalu berubah, korupsi di atas meja. Terang-terangan. Berubah lagi, meja dan kursinya pun ikut dikorupsi. Malu-maluin”
KPK didirikan sebagai respon maraknya korupsi. Lembaga yang berdiri di era Megawati itu dirancang memberantas korupsi di negeri ini. Karena sebagai pemberantas, ia menjadi lembaga tersuci. Tak boleh ada rasuah. Haram.
Nyatanya, KPK seperti tak berdaya. Memang banyak menteri, gubernur, wali kota, bupati yang sudah ditangkapi. Jaksa dan hakim pun banyak dijebloskan ke penjara. Hampir tiap bulan ada saja dicokok KPK. Anehnya, semakin banyak ditangkap, koruptor tumbuh bak jamur di musim hujan. Ditangkap satu, tumbuh seribu koruptor baru.
Seringnya KPK jebloskan pejabat, pengusaha, jaksa, dan hakim masyarakat pun menganggap biasa. Isu korupsi pun tak menarik lagi. Apalagi yang ditangkap para curut, malah dicibir warga. “Depan mata tak kelihatan. Yang di ujung dunia malah tampak jelas.”
Makin ke sini, dukungan masyarakat ke KPK pun mulai luntur. Apalagi muncul skandal dugaan pungutan liar (pungli), mark up anggaran, pelecehan, hingga perselingkuhan di tubuh KPK sendiri, semakin membuat publik tak simpatik. Belum lagi ketuanya sudah dua kali disidang etik oleh Dewas.
Saat MK memutuskan masa jabatan komisionernya diperpanjang, semakin mengurangi respek publik pada KPK. Publik maunya yang sekarang cepat diganti, tapi malah diperpanjang.
Untungnya, di tengah KPK melemah, Kejaksaan justru menguat. Kejaksaan justru banyak membongkar kasus korupsi besar dengan nilai triliunan. Orang justru lebih takut pada jaksa ketimbang KPK.
Walau kejaksaan menguat, korupsi tak pernah habisnya. Justru praktik korupsi semakin canggih. Semakin susah dideteksi. Karena itu tadi, mejanya pun diangkut untuk dikorupsi juga.
Ada narasi yang viral begini, “Orang suka penghasilan haram, tapi takut makan yang haram.” Disuruh makan daging babi (bagi yang muslim) pasti tak mau. Giliran disogok 27 miliar malah mau. Padahal sama-sama haram.
Dengan cara apalagi memberantas korupsi? Hukum belum bisa diharapkan selama mental korup itu masih kuat. Pendidikan Antikorupsi sudah diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Nyatanya ada Rektor malah ditangkap KPK. Kepsek pun banyak ditangkap gara-gara dana BOS. Pendidikan moral seperti Pancasila dan Agama pun belum sukses menanamkan semangat antikorupsi.
Tersisa dua jurus, penerapan undang-undang perampas aset atau memiskinkan koruptor dan hukuman mati. Dua jurus ini malah tidak direspon serius oleh wakil rakyat. Warga pun juga tak getol. Yang didemo justru soal tiga periode. Karena dua jurus ini masih angan-angan, korupsi pun tetap merajalela. Ada memang ditangkap, tapi yang tak ketangkap lebih ramai lagi. (*)
*Penulis: Ketua PW Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Kalbar
Discussion about this post