Oleh : Rosadi Jamani
Dosen UNU Kalimantan Barat
Pengenalan Laut China Selatan
Laut China Selatan terbentang luas antara daratan Asia Tenggara di utara dan selatan, dan Filipina di timur (T. Li et al., 2024). Laut ini dibatasi oleh berbagai negara, seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Laut tersebut memiliki peran penting dalam aspek ekonomi, politik, dan strategis (T. Wang et al., 2024). Secara ekonomi, laut ini merupakan jalur pelayaran vital bagi perdagangan internasional, dengan nilai transit barang mencapai triliunan dolar per tahun.
Dari segi politik, Laut China Selatan menjadi wilayah sengketa antara beberapa negara yang mengklaim kepemilikan atas pulau-pulau dan wilayah perairan di dalamnya (Xiong et al., 2024). Keberadaannya juga menjadi kunci stabilitas dan keamanan regional (Yusgiantoro et al., 2024).
Secara strategis, Laut China Selatan kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, ikan, dan mineral, menjadikannya kawasan yang strategis bagi negara-negara di sekitarnya (XU et al., 2024).
Selain itu, Laut China Selatan menyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak bumi, gas alam, ikan, dan mineral (Zhang et al., 2023). Cadangan minyak bumi dan gas alam diyakini cukup besar, dan menjadi daya tarik bagi negara-negara di kawasan ini untuk mengeksplorasinya (Putra, 2023).
Di samping itu, Laut China Selatan juga merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan, menjadikannya sumber protein penting bagi masyarakat di kawasan ini (Xiong et al., 2024).
Perlu diketahui, di laut itu ada Kepulauan Paracel dan Spratly. Dua gugusan kepulauan itu menjadi titik sentral sengketa di Laut China Selatan (Wen Long et al., 2021). Kedua gugusan kepulauan ini diklaim oleh beberapa negara, dan telah menjadi sumber ketegangan dan konflik selama beberapa dekade (Umme Laila et al., 2024).
Fakta ini merupakan kawasan yang kompleks dan penting, dengan berbagai kepentingan ekonomi, politik, dan strategis. Pemahaman yang menyeluruh tentang Laut China Selatan, termasuk letak geografis, potensinya, dan sengketa yang terjadi, sangatlah penting untuk menjaga stabilitas dan keamanan regional (Wardhana, 2021).
Ancaman Konflik Terhadap Kedaulatan Indonesia
China telah mengeluarkan klaim “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine Dashed Line) yang mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan (Mega Jaya et al., 2024), termasuk wilayah yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Klaim ini secara konsisten ditentang oleh Indonesia dan negara-negara lain di kawasan ini karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan melanggar prinsip hukum internasional (Strangio, 2020).
Selain itu, China telah meningkatkan aktivitas militernya di Laut China Selatan (Hidayat et al., 2024). Termasuk pembangunan pulau-pulau buatan, latihan militer, dan patroli maritim yang agresif. Aktivitas ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, karena berpotensi memicu konflik dan membahayakan stabilitas kawasan (Shekhar, 2023).
Aktivitas China di Laut China Selatan berpotensi melanggar ZEE Indonesia. Ini merupakan wilayah maritim di mana Indonesia memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam (Dirhamsyah et al., 2022). Pelanggaran ZEE dapat merugikan secara ekonomi dan membahayakan kedaulatan Indonesia.
Konflik di Laut China Selatan dapat berdampak negatif terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Hal ini dapat mengganggu perdagangan maritim, memicu perlombaan senjata, dan meningkatkan risiko konfrontasi militer. Konflik ini juga dapat merusak hubungan antara negara-negara di kawasan dan menghambat kerja sama regional.
Ancaman terhadap kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan merupakan masalah serius yang harus dihadapi dengan serius. Klaim “Sembilan Garis Putus-putus” China, aktivitas militer yang meningkat, dan potensi pelanggaran ZEE Indonesia menimbulkan risiko yang signifikan bagi stabilitas dan keamanan kawasan.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk bekerja sama dengan negara-negara lain di kawasan untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan secara damai dan sesuai dengan hukum internasional.
Konteks Konflik Di Laut China Selatan
Laut China Selatan merupakan wilayah laut yang strategis dan kaya sumber daya alam. Namun, wilayah ini juga menjadi arena perebutan klaim teritorial antara beberapa negara, seperti China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan (K. Wang, 2024). Klaim-klaim ini tumpang tindih dan memicu ketegangan politik dan keamanan di kawasan (Hidayat et al., 2024).
Dalam beberapa tahun terakhir, Laut China Selatan menjadi semakin memanas dengan meningkatnya aktivitas militer China di wilayah tersebut. China telah membangun pulau-pulau buatan dan melakukan latihan militer di daerah yang disengketakan (Journal et al., 2024). Hal ini menimbulkan kekhawatiran di negara-negara tetangga dan komunitas internasional.
Identifikasi Pihak yang Terlibat Konflik
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Laut China Selatan adalah:
- China: Mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan “Garis Sembilan Putus” yang kontroversial. Garis ini tidak diakui oleh banyak negara tetangga dan telah menjadi sumber ketegangan dalam hubungan regional. Beberapa negara, seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia, memiliki klaim wilayah yang tumpang tindih dengan klaim China, dan perselisihan ini terus menjadi isu yang kompleks dan sensitif di kawasan tersebut.
- Vietnam: Mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel, dan telah menempatkan pasukan di beberapa pulau tersebut. Klaim wilayah ini juga menjadi perdebatan antara Vietnam dan negara-negara lain yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan(Pizzol & Pelaggi, 2023).
- Filipina: Mengklaim Kepulauan Spratly dan telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag. Filipina berusaha memperjuangkan hak-haknya atas wilayah ini melalui jalur hukum internasional. Perselisihan ini menyoroti kompleksitas geopolitik dan ketegangan di kawasan Laut China Selatan (Boonstra et al., 2023).
- Malaysia: Mengklaim sebagian Kepulauan Spratly dan terlibat dalam beberapa insiden konfrontasi dengan China. Malaysia juga memiliki kepentingan strategis di wilayah ini dan berusaha menjaga stabilitas serta keamanan maritim di sekitar pulau-pulau tersebut (Acharya, 1995; Wong, 2002)
- Brunei Darussalam: Mengklaim sebagian kecil Kepulauan Spratly. Meskipun klaim Brunei lebih terbatas, kehadiran mereka di wilayah ini juga menjadi bagian dari dinamika kompleks di Laut China Selatan (Y. H. Li et al., 2023).
- Taiwan: Mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel, dan telah menempatkan pasukan di beberapa pulau tersebut. Taiwan memiliki posisi unik dalam perselisihan ini karena statusnya yang kompleks secara politik dan hubungannya dengan China (McKinney, 2023).
Sementara Indonesia sendiri, tidak terlibat dalam klaim Kepulauan Spratlu dan Paracel itu. Namun, Indonesia “terseret” dalam sengketa Laut China Selatan sejak 2010, setelah Tiongkok mengklaim ZEE Indonesia di wilayah utara Kepulauan Natuna. Klaim sepihak Tiongkok terus berlanjut dan memuncak pada 2016 ketika kapal penangkap ikan asal Tiongkok melakukan aktivitas penangkapan ikan ilegal di perairan Natuna (Sulistyani et al., 2021).
Sebagai negara yang netral dan memiliki kebijakan politik luar negeri yang “bebas aktif,” Indonesia memahami kerumitan dari konflik Laut China Selatan. Upaya yang dapat dilakukan Indonesia adalah memalui jalur diplomasi, yakni diplomasi preventif. Meskipun Indonesia bukan merupakan negara yang bersengketa, klaim Beijing atas wilayah yang secara hukum diakui sebagai ZEE Indonesia di sekitar perairan Kepulauan Natuna, menjadi sumber ketegangan dalam hubungan bilateral antara Jakarta dan Beijing (Sorongan, 2021).
Penyebab Utama Konflik
Penyebab utama konflik di Laut China Selatan adalah:
- Klaim teritorial yang tumpang tindih: Berbagai negara memiliki klaim yang berbeda atas wilayah Laut China Selatan, dan klaim-klaim ini seringkali tidak memiliki dasar hukum yang kuat .
- Kekayaan sumber daya alam: Laut China Selatan kaya akan sumber daya alam, seperti ikan, minyak, dan gas. Hal ini mendorong negara-negara di kawasan untuk memperebutkan wilayah tersebut (Wen Long et al., 2021).
- Militerisasi Laut China Selatan: China telah meningkatkan aktivitas militernya di Laut China Selatan dalam beberapa tahun terakhir, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran di negara-negara tetangga.
- Kurangnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif: Tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif di kawasan Laut China Selatan, sehingga negara-negara yang terlibat dalam konflik kesulitan untuk mencapai solusi yang damai (Kusumah, 2018).
Konflik di Laut China Selatan memiliki potensi untuk memicu konfrontasi militer yang lebih luas di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, penting bagi negara-negara di kawasan dan komunitas internasional untuk bekerja sama dalam menyelesaikan konflik ini secara damai dan konstruktif.
Peran Diplomasi Dalam Menjaga Kedaulatan Maritim Indonesia
Diplomasi merupakan alat utama dalam menangani konflik internasional (Nagheeby & Amezaga, 2023). Diplomasi bertujuan untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai melalui dialog, negosiasi, dan kerja sama. Diplomasi dapat dilakukan secara bilateral (antara dua negara) atau multilateral (antara banyak negara).
Dalam konteks Laut China Selatan, diplomasi memainkan peran penting dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Diplomasi dapat digunakan untuk:
- Mencegah konflik: Negara-negara di kawasan Laut China Selatan dapat menggunakan diplomasi untuk membangun kepercayaan dan saling pengertian, serta untuk menyelesaikan sengketa secara damai sebelum konflik terjadi.2. Mengelola konflik: Jika konflik terjadi, diplomasi dapat digunakan untuk de-eskalasi situasi dan untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
- Membangun kerja sama: Diplomasi dapat digunakan untuk membangun kerja sama di bidang maritim, seperti keamanan maritim, perlindungan lingkungan laut, dan eksplorasi sumber daya laut.
Strategi Diplomasi Indonesia
Indonesia memiliki beberapa strategi diplomasi untuk menghadapi ancaman konflik di Laut China Selatan, yaitu:
- Menegaskan kedaulatannya: Indonesia secara konsisten menegaskan kedaulatannya atas wilayah lautnya berdasarkan hukum internasional, seperti Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS).
- Meningkatkan kerja sama regional: Indonesia aktif dalam kerja sama regional seperti ASEAN dan Forum Regional ASEAN (ARF) untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan.
- Membangun hubungan bilateral yang kuat:Indonesia membangun hubungan bilateral yang kuat dengan negara-negara di kawasan, termasuk China.
- Melibatkan pihak ketiga: Indonesia melibatkan pihak ketiga seperti PBB dan Uni Eropa untuk membantu penyelesaian sengketa di Laut China Selatan.
- Menggunakan media: Indonesia menggunakan media untuk mengkomunikasikan posisinya dan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim.
Upaya Diplomatik
Indonesia telah melakukan berbagai upaya diplomatik untuk menjaga kedaulatan maritimnya, antara lain:
- Menyampaikan nota protes kepada China. Indonesia telah menyampaikan nota protes kepada China atas pelanggaran kedaulatan maritimnya di Laut Natuna Utara.
- Membawa China ke pengadilan. Indonesia membawa China ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag untuk menyelesaikan sengketa Kepulauan Spratly.
- Memperkuat patroli maritim. Indonesia memperkuat patroli maritim di wilayah perairan Indonesia untuk mencegah pelanggaran kedaulatan maritim.
- Bekerja sama dengan negara-negara tetangga. Indonesia bekerja sama dengan negara-negara tetangga untuk melakukan patroli maritim bersama dan untuk berbagi informasi tentang kegiatan ilegal di laut.
- Meningkatkan kapasitas diplomasi maritim. Indonesia meningkatkan kapasitas diplomasi maritimnya dengan melatih diplomat dan dengan membangun institusi yang menangani isu-isu maritim.
Upaya-upaya diplomatik yang dilakukan Indonesia telah membuahkan hasil. Indonesia berhasil menyelesaikan beberapa sengketa maritim dengan negara-negara tetangganya secara damai. Indonesia juga berhasil mendapatkan pengakuan internasional atas kedaulatannya atas wilayah lautnya.
Namun, tantangan dalam menjaga kedaulatan maritim Indonesia masih tetap ada. China masih belum menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan secara damai. Oleh karena itu, Indonesia perlu terus memperkuat diplomasi maritimnya dan meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain untuk menjaga kedaulatan maritimnya.
Taktik dan Strategi Diplomatik Indonesia
Indonesia menggunakan kerja sama bilateral dan multilateral untuk menangani konflik di Laut China Selatan. Kerja sama bilateral dilakukan dengan negara-negara yang secara langsung terlibat dalam konflik, seperti China, Vietnam, dan Filipina. Kerja sama multilateral dilakukan dengan organisasi regional seperti ASEAN dan forum internasional lainnya.
Kerja sama bilateral dengan negara-negara tetangga di Laut China Selatan fokus pada:
– Dialog dan negosiasi untuk menyelesaikan sengketa maritim secara damai
– Patroli maritim bersama untuk mencegah pelanggaran kedaulatan maritim
– Pertukaran informasi tentang kegiatan ilegal di laut
– Kerja sama di bidang keamanan maritim, seperti pelatihan dan pengembangan kapasitas.
Kerja sama multilateral di forum regional dan internasional bertujuan untuk:
– Mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan.
– Membangun norma dan aturan maritim yang disepakati bersama.
– Mendapatkan dukungan internasional untuk kedaulatan Indonesia atas wilayah lautnya.
– Meningkatkan kesadaran masyarakat internasional tentang pentingnya menjaga Laut China Selatan.
Peran ASEAN dalam Menyelesaikan Konflik
ASEAN memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan. ASEAN telah mengeluarkan beberapa deklarasi dan pernyataan tentang Laut China Selatan, yang menekankan pentingnya perdamaian, stabilitas, dan penyelesaian sengketa secara damai. ASEAN juga mendorong negara-negara anggota untuk mematuhi hukum internasional, seperti UNCLOS.
Indonesia aktif dalam ASEAN dan mendorong organisasi ini untuk memainkan peran yang lebih proaktif dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan. Indonesia juga mengusulkan agar ASEAN membuat Code of Conduct (COC) untuk Laut China Selatan yang dapat membantu menyelesaikan sengketa di kawasan tersebut secara damai.
Diplomasi Publik Membangun Dukungan Internasional
Indonesia menggunakan diplomasi publik untuk membangun dukungan internasional untuk kedaulatannya atas wilayah lautnya. Diplomasi publik dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
– Kampanye media: Indonesia meluncurkan kampanye media untuk menjelaskan posisinya tentang Laut China Selatan kepada masyarakat internasional.
– Kunjungan diplomatik: Pejabat Indonesia melakukan kunjungan diplomatik ke negara-negara lain untuk menjelaskan posisinya tentang Laut China Selatan dan untuk mendapatkan dukungan mereka.
– Partisipasi dalam forum internasional: Indonesia berpartisipasi dalam forum internasional untuk menjelaskan posisinya tentang Laut China Selatan dan untuk membangun kerja sama dengan negara-negara lain.
– Pendidikan dan pelatihan: Indonesia memberikan pendidikan dan pelatihan tentang hukum laut dan diplomasi maritim kepada diplomat dan pejabat pemerintah lainnya.
Diplomasi publik telah membantu Indonesia untuk mendapatkan dukungan internasional untuk kedaulatannya atas wilayah lautnya. Dukungan internasional ini penting untuk membantu Indonesia menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai.
Diplomasi merupakan alat utama yang digunakan Indonesia untuk menjaga kedaulatan maritimnya dan untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan. Indonesia menggunakan berbagai strategi diplomatik, seperti kerja sama bilateral dan multilateral, partisipasi dalam ASEAN, dan diplomasi publik.
Upaya-upaya diplomatik Indonesia telah membuahkan hasil, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Indonesia perlu terus memperkuat diplomasi maritimnya dan meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain untuk menjaga kedaulatan maritimnya dan untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan.
Tantangan dan Peluang di Masa Depan
Indonesia menghadapi beberapa tantangan dalam menjaga kedaulatan maritimnya, antara lain:
- Kekuatan militer China: China memiliki kekuatan militer yang jauh lebih kuat daripada Indonesia. Hal ini membuat Indonesia sulit untuk mempertahankan kedaulatan maritimnya jika terjadi konflik dengan China.
- Kurangnya sumber daya: Indonesia memiliki sumber daya yang terbatas untuk memperkuat pertahanan maritimnya. Hal ini membuat Indonesia sulit untuk melakukan patroli maritim secara efektif dan untuk memerangi kegiatan ilegal di laut.
- Kurangnya kesadaran masyarakat: Masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim. Hal ini membuat Indonesia sulit untuk mendapatkan dukungan publik untuk upaya-upaya menjaga kedaulatan maritim.
- Kompleksitas hukum laut: Hukum laut adalah isu yang kompleks dan multidimensi. Hal ini membuat Indonesia sulit untuk menyelesaikan sengketa maritim dengan negara-negara lain secara damai.
Ada beberapa peluang untuk meningkatkan efektivitas diplomasi Indonesia dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan, antara lain:
- Meningkatnya kerja sama regional: Kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara semakin kuat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk bekerja sama dengan negara-negara lain untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai.
- Tumbuhnya kesadaran internasional: Masyarakat internasional semakin menyadari pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan internasional untuk upaya-upaya menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai.
- Perkembangan teknologi: Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menggunakan TIK untuk meningkatkan efektivitas diplomasi maritimnya.
Rekomendasi Kebijakan
Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan untuk penguatan diplomasi Indonesia di masa mendatang:
- Meningkatkan anggaran untuk diplomasi maritim: Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan anggaran untuk diplomasi maritim. Hal ini akan memungkinkan Indonesia untuk memperkuat kapasitas diplomatnya, untuk meningkatkan partisipasi dalam forum internasional, dan untuk membangun kerja sama dengan negara-negara lain.
- Membangun kapasitas diplomat maritim: Pemerintah Indonesia perlu membangun kapasitas diplomat maritimnya. Diplomat maritim perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hukum laut, diplomasi maritim, dan isu-isu maritim lainnya.
- Meningkatkan partisipasi dalam forum internasional: Indonesia perlu meningkatkan partisipasi dalam forum internasional yang membahas isu-isu maritim. Hal ini akan memungkinkan Indonesia untuk menyuarakan posisinya tentang Laut China Selatan dan untuk mendapatkan dukungan internasional untuk upaya-upaya menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai.
- Membangun kerja sama dengan negara-negara lain: Indonesia perlu membangun kerja sama dengan negara-negara lain untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai. Kerja sama ini dapat dilakukan dalam bentuk bilateral, multilateral, atau regional.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim: Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye edukasi dan publikasi.
Dengan memperkuat diplomasi maritimnya, Indonesia dapat lebih efektif dalam menjaga kedaulatan maritimnya dan dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai.
Kesimpulan
Laut China Selatan menjadi wilayah rawan konflik akibat klaim maritim tumpang tindih antar negara-negara pesisir. Indonesia, sebagai salah satu negara yang berkepentingan, menggunakan diplomasi sebagai alat utama untuk menjaga kedaulatan maritimnya di kawasan tersebut. Strategi diplomasi Indonesia dilakukan melalui berbagai cara, seperti kerja sama bilateral dan multilateral, partisipasi aktif dalam forum internasional, dan diplomasi publik untuk membangun dukungan internasional.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, seperti kekuatan militer China yang lebih unggul dan sumber daya yang terbatas, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan efektivitas diplomasi maritimnya. Peningkatan kerja sama dengan negara-negara lain, memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim menjadi kunci utama.
Penguatan diplomasi maritim secara berkelanjutan merupakan solusi yang tepat untuk menjaga kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan dan mencapai perdamaian di kawasan. Dengan konsistensi dan kerja sama antar negara, diharapkan konflik di Laut China Selatan dapat diselesaikan secara damai dan berkeadilan.
Diplomasi maritim juga menjadi kunci untuk membuka peluang kerja sama di bidang maritim, seperti keamanan maritim, perlindungan lingkungan laut, dan eksplorasi sumber daya laut. Kerja sama ini akan menguntungkan seluruh negara di kawasan dan berkontribusi pada stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan.
Konflik di Laut China Selatan masih belum terselesaikan. Indonesia perlu terus memperkuat diplomasi maritimnya untuk menjaga kedaulatannya dan untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai.
Penguatan diplomasi maritim Indonesia dapat dilakukan dengan:
– Meningkatkan anggaran untuk diplomasi maritim.
– Membangun kapasitas diplomat maritim.
– Meningkatkan partisipasi dalam forum internasional.
– Membangun kerja sama dengan negara-negara lain.
– Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kedaulatan maritim.
Dengan memperkuat diplomasi maritimnya, Indonesia dapat mencapai tujuannya untuk menjaga kedaulatan maritimnya dan untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai. Diplomasi adalah solusi yang paling efektif untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan.
Penggunaan kekuatan militer hanya akan memperburuk situasi dan dapat memicu konfrontasi militer yang lebih luas di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia dan negara-negara lain di kawasan untuk terus bekerja sama untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara damai melalui diplomasi.
Daftar Pustaka
- Acharya, A. (1995). ASEAN and Asia-Pacific Multilateralism: Managing Regional Security. In A. Acharya & R. Stubbs (Eds.), Emerging Policy Issues (pp. 182–202). University of British Columbia Press. https://doi.org/doi:10.59962/9780774853040-009
- Boonstra, W. J., Dahlet, L., Eriksson, B., Salim, S. A., & van Putten, E. I. (2023). Understanding and analysing the complex causality of conflicts over marine environments through process tracing. Maritime Studies, 22(2), 1–21. https://doi.org/10.1007/s40152-023-00306-4
- Dirhamsyah, D., Umam, S., & Arifin, Z. (2022). Maritime law enforcement: Indonesia’s experience against illegal fishing. Ocean & Coastal Management, 229, 106304. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2022.106304
- Hidayat, A. R., Alifah, N., Rodiansjah, A. A., & Asikin, M. Z. (2024). Sengketa Laut Cina Selatan: Analisis Realis terhadap Perebutan Kekuasaan, Respon Regional, dan Implikasi Geopolitik. Jurnal Syntax Admiration, 5(2), 568–578. https://doi.org/10.46799/jsa.v5i2.1041
- Journal, I., Humanities, O., Sulaeman, S. D., Dindin, I., Technology, M., Program, S., & Author, C. (2024). Literature Review On Fast Missile Ships (KCR) In The Context Of Military Modernization: A Historical Review And Challenges To Indonesia’s Contribution To Maritime Defense 1,2,3). 3(5), 2335–2344.
- Kusumah, R. W. P. I. (2018). Jalan Damai Menuju Keamanan Regional: Pendekatan Asean Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Laut China Selatan. Factum: Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah, 7(2). https://doi.org/10.17509/factum.v7i2.15610
- Li, T., Feng, J., Zhao, L., Wang, D., & Fan, R. (2024). Geographical distribution of coral reefs and their responses to environmental factors in the South China Sea. Ecological Indicators, 158, 111485. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2023.111485
- Li, Y. H., Calcinai, B., Lim, J., & Schönberg, C. H. L. (2023). Bioerosion Research in the South China Sea: Scarce, Patchy and Unrepresentative. Oceans, 4(1), 51–67. https://doi.org/10.3390/oceans4010005
- McKinney, J. M. (2023). The Scholar and the Ghost: Thucydides, China’s Rise, and Major Power War. Journal of Contemporary China, 32(140), 338–352. https://doi.org/10.1080/10670564.2022.2071938
- Mega Jaya, B. P., Permana Sidiq, A. P., Fasyehhudin, M., & Solapari, N. (2024). Republic of Indonesia Sovereign Right in North Natuna Sea according to United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs, 16(1). https://doi.org/10.1080/18366503.2023.2206261
- Nagheeby, M., & Amezaga, J. (2023). Decolonising water diplomacy and conflict transformation: from security-peace to equity-identity. Water Policy, 25(8). https://doi.org/10.2166/wp.2023.043
- Pizzol, P., & Pelaggi, S. (2023). Small powers in the Indo-Pacific. Handbook of Indo-Pacific Studies, 440–458. https://doi.org/10.4324/9781003336143-27
- Putra, B. A. (2023). Deciphering the maritime diplomatic properties of Malaysia’s oil and gas explorations in the South China Sea. Frontiers in Political Science, 5. https://doi.org/10.3389/fpos.2023.1286577
- Shekhar, C. (2023). Examining the 56 TH ASEAN Ministerial Meeting and PMC plus One Session with India , United States and China : Issues and Challenges. 11(1), 21–27.
- Sorongan, T. P. (2021). RI Khawatir Eskalasi Konflik Laut China Selatan, Ada Apa. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210208133541-4-221852/ri-khawatir-eskalasi-konflik-laut-china-selatan-ada-apa
- Strangio, S. (2020). In UN Speech , Duterte Stiffens Philippines ’ Stance on the South China Sea support for a Hague ruling. The Diplomat.
- Sulistyani, Y. A., Pertiwi, A. C., & Sari, M. I. (2021). Indonesia’s Responses amidst the Dynamic of the South China Sea Dispute under Jokowi’s Administration [Respons Indonesia di tengah Dinamika Sengketa Laut China Selatan di bawah Pemerintahan Jokowi. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 12(1), 85–103. https://doi.org/10.22212/jp.v12i1.2149
- Umme Laila, Dr. Fouzia Amin, & Zafar Hassan. (2024). Territorial Disputes in the South China Sea: Economic Implications for the Region. Sjesr, 7(1). https://doi.org/10.36902/sjesr-vol7-iss1-2024(1-6)
- Wang, K. (2024). Map evidence for the Philippines’ territorial claim in the South China Sea: a historical, cartographical and legal analysis. Pacific Review. https://doi.org/10.1080/09512748.2024.2317952
- Wang, T., Chen, S., Gong, Y., & Li, C. (2024). Evolution of the South China Sea geo-pattern based on the “geo-potential-strategic triangle” framework. Ocean & Coastal Management, 248, 106963. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2023.106963
- Wardhana, R. S. (2021). The South China Sea Conflict and Security Cooperation in ASEAN Waters. Indonesian Journal of Peace and Security Studies (IJPSS), 3(1). https://doi.org/10.29303/ijpss.v3i1.56
- Wen Long, T., Zainal, A., & Nizam Kassim, M. (2021). News Event Prediction using Causality Approach on South China Sea Conflict. 2021 3rd International Cyber Resilience Conference, CRC 2021. https://doi.org/10.1109/CRC50527.2021.9392431
- Wong, K. C. (2002). Who owns the Spratly Islands? The case of China and Vietnam. China Report, 38(3). https://doi.org/10.1177/000944550203800301
- Xiong, P., Cai, Y., Jiang, P., Xu, Y., Sun, M., Fan, J., & Chen, Z. (2024). Impact of climate change on the distribution of Trachurus japonicus in the Northern South China Sea. Ecological Indicators, 160, 111758. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2024.111758
- Xu, C., Gao, Y., Liu, J., Peng, G., Liu, P., Xiong, W., & Song, P. (2024). Discovery and inspiration of large- and medium-sized glutenite-rich oil and gas fields in the eastern South China Sea: An example from Paleogene Enping Formation in Huizhou 26 subsag, Pearl River Mouth Basin. Petroleum Exploration and Development, 51(1), 15–30. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S1876-3804(24)60002-9
- Yusgiantoro, P., Siagian, U. W., Reksoprodjo, A. H., Gustin, D. R., & Asri, N. D. (2024). Security–Energy Nexus in Indonesia’s Border: The Case of Natuna. Indonesian Journal of Energy, 7(1). https://doi.org/10.33116/ije.v7i1.207
- Zhang, G., Yang, D., Guo, S., Wang, L., & Lü, C. (2023). The formation of oil and gas in basement buried hills with its model of three-element controlling reservoir and the frontiers of deep water oil and gas exploration in the northern South China Sea. Natural Gas Geoscience, 34(12). https://doi.org/10.11764/j.issn.1672-1926.2023.09.008
Discussion about this post