– Praktisi sekaligus Akademisi Hukum dari Universitas Muhammadiyah Pontianak (UMP), Deni Amirudin menyoroti pengadaan 12 unit mobil ambulans infeksius atau ambulans berstandar penanganan Covid-19 yang diduga bermasalah.
Deni mengapresiasi Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (Kejati Kalbar) yang mendalami dugaan tersebut.
“Kita harus memberikan apresiasi penuh kepada Kejati Kalbar yang mampu mengungkap kasus ini,” katanya kepada Jurnalis.co.id, Senin (11/10/2021) malam.
Menurut Deni, tentunya ini masih dugaan. Kendati tersiar ada enam unit ambulans yang diduga tidak sesuai spesifikasi sebagaimana yang diatur dalam Pedoman Menteri Kesehatan RI.
“Walaupun teridentifikasi ada 6 unit ambulans, namun Kejati Kalbar wajib memeriksa ke 12 unit ambulans yang harganya Rp1 miliar lebih per unit tersebut tanpa terkecuali,” ujarnya.
Hal paling penting menjadi perhatian penyidik Kejati Kalbar, kata Deni, di antaranya pengadaan 12 unit ambulans infeksius itu melalui Penunjukan Langsung (PL). Padahal arahan Inspektorat Kalbar sebelumnya mesti melalui proses lelang.
“Dalam hal ini Kejati Kalbar harus meminta keterangan dari Pokja, Pokja harus mampu menjelaskan alasan teknis dan administrasinya,” sarannya.
“Kenapa bisa lelangnya dibatalkan dan beralih menjadi Penunjukan Langsung? Dan herannya lagi, baik pemenang lelang ataupun Penunjukan Langsung kontraktornya sama pihaknya,” sambung Deni.
Berikutnya yang harus diperhatikan penyidik Kejati Kalbar adalah serah terima barang yang dikabarkan tidak melalui mekanisme penerimaan hasil pekerjaan oleh PPTK dan PPHP. Karena menurut Deni, tentunya ini sudah menyalahi mekanisme yang ada.
“Karena PPTK dan PPHP harus memastikan terlebih dahulu apakah pengadaan 12 unit ambulans infeksius tersebut sudah memenuhi spesifikasi kontrak atau sebaliknya,” ucapnya.
“Walaupun ini masih harus dibuktikan di muka pengadilan, namun setidaknya kita menjadi prihatin, anggaran yang seharusnya dipergunakan membantu masyarakat menghadapi pandemi Covid-19, tetapi malah terjadi dugaan dikorupsi,” timpal Deni.
Deni menegaskan, jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka dalam penuntutan Jaksa bisa saja menggunakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Di mana dinyatakan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam ‘keadaan tertentu’, pidana mati dapat dijatuhkan.
“Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter,” pungkas Deni Amirudin. (rin)
Discussion about this post