– Jangka waktu keberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (UU Covid-19) akhirnya dibatasi.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dalam pertimbangan hukumnya, memutuskan UU Covid-19 hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU Covid-19 diundangkan.
“Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut,” terang Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan terhadap uji UU Covid-19 yang digelar pada Kamis (28/10/2021) dikutip dari situs MK.
Permohonan uji materiil ini diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). Ada pula yang diajukan Pemohon perorangan oleh Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Para Pemohon menguji secara formil dan materiil UU Covid-19 yang dinilai melanggar hak konstitusional para Pemohon.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah juga menilai bahwa secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat mengenai keadaan darurat. Sehingga, memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Pembatasan waktu secara tegas dan pasti terhadap UU Covid-19 ini agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan yang ada di dalamnya, hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19, sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi,” urai Suhartoyo.
Namun dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama sebelum memasuki tahun ke-3, lanjut Suhartoyo, maka hal-hal yang terkait dengan alokasi anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan ini perlu dilakukan karena norma tersebut telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai 2022.
Oleh karena itu, sambung Suhartoyo, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan defisit anggaran tersebut.
“Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU Covid-19 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Suhartoyo dari Ruang Sidang Pleno MK yang juga menggelar sidang untuk enam perkara lainnya, yaitu Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020. (m@nk)
Discussion about this post