– Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pontianak menunda sidang perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan Terdakwa Ali Sabudin, Rabu (01/12/2021). Sidang dilanjutkan pekan depan.
Majelis Hakim memutuskan menunda sidang karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa menghadirkan saksi Pelapor Lily Susianti. Seyogyanya, agenda sidang lanjutan KDRT hari ini adalah mendengarkan keterangan dari Saksi Pelapor Lily Susianti yang akan dihadirkan oleh Jaksa.
“Kita agak kecewa sebenarnya atas penundaan sidang ini, karena saksi yang diajukan Jaksa ternyata tidak hadir,” kata Kuasa Hukum Terdakwa Ali Sabudin, Arry Sakurianto ditemui di PN Pontianak, Rabu (01/12/ 2021).
Arry berharap pekan depan Saksi Pelapor Lily Susianti dapat dihadirkan dalam sidang, termasuk saksi yang meringankan Terdakwa.
“Jaksa merasa belum siap untuk menghadirkan Saksi Pelapor. Belum siap saja. Kalau memang tidak siap ya harus dipanggil kembali saksinya,” katanya.
Arry menilai, dengan ketidakhadiran Saksi Pelapor Lily Susianti dalam sidang semakin memperlihatkan kejanggalan dalam perkara KDRT ini. Apalagi sedari awal dia memang sudah melihat beberapa kejanggalan dalam perkara KDRT yang menjerat kliennya tersebut.
Kejanggalan itu, kata Arry, dimulai dari rentang waktu pelaporan sampai perkara naik ke persidangan saat ini.
“Pelaporan kasus KDRT ini dilakukan pada 2011, kok baru 2021 naik ke persidangan, hampir 10 tahun, ini ada apa,” ucapnya.
Kalau kasus dengan tingkat pengungkapan yang berat, lanjut Arry, rentang waktu selama ini tentu masih dinilai wajar, misalnya kasus pembunuhan.
“Seharusnya perkara semacam KDRT ini 6 bulan sudah selesai, kenapa sampai 10 tahun baru kasusnya naik ke pengadilan,” sebutnya.
Selama rentang waktu tersebut, pihak Ali Sabudin hanya mengetahui kalau Lily Susianti telah mencabut laporannya. Kemudian pada 2015, Lily Susianti kembali meminta laporan terkait dugaan KDRT yang dilakukan Ali Sabudin ditindaklanjuti kembali.
“Awalnya kami menduga berkasnya ada rekayasa, karena tidak masuk akal perkara yang harus selesai 6 bulan malah selama ini,” katanya.
Namun dengan dilanjutkannya perkara KDRT ini, pihak Ali Sabudin merasa sangat yakin kebenaran akan terungkap.
Secara lebih rinci Arry pun menceritakan kronologis perkara KDRT Ali Sabudin ini sebagai berikut:
1. Lily Susianti Membuat Laporan KDRT
Pada 27 Mei 2011 silam Lily Susianti yang masih menjadi istri Ali Sabudin melapor ke Polresta Pontianak kalau suaminya itu melakukan KDRT.
2. Ali Sabudin Dipanggil untuk Klarifikasi
Setelah menerima laporan Lily Susianti, Penyidik Polresta Pontianak pun memanggil Ali Sabudin untuk klarifikasi, statusnya sebagai saksi.
Ali Sabudin diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan KDRT, pada 17 Juni 2011 atau sekitar dua pekan setelah laporan Lily Susianti.
3. Lily Susianti Mencabut Laporannya
Kemudian secara sepihak Lily Susianti mencabut laporan KDRT-nya pada 27 Juli 2011 atau sekitar satu bulan setelah Ali Sabudin diperiksa sebagai saksi.
4. Lily Susianti Minta Laporannya Ditindaklanjuti Kembali
Lily Susianti meminta Penyidik Polresta Pontianak menindaklanjuti Laporan KDRT-nya itu pada 1 April 2015.
Ironisnya Lily Susianti sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak karena kasus penganiayaan anak sejak 26 Maret 2015.
5. Ali Sabudin Tidak Mengetahui Kasus KDRT ini Berlanjut
Sejak Lily Susianti meminta laporannya dilanjutnya pada 2015, Ali Sabudin sama sekali tidak mengetahuinya, tidak ada pemberitahuan dari Penyidik.
6. Ali Sabudin Dipanggil Penyidik
Pada 1 September 2021, Ali Sabudin dipanggil penyidik terkait laporan Lily Susianti. Ternyata kasus tersebut sudah masuk tahap dua.
Saat itu Ali Sabudin dipanggil sebagai saksi. Setelah Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ternyata ia sudah ditetapkan sebagai Tersangka.
Kuasa Hukumnya, Arry pun menyoroti kejanggalan dalam BAP tersebut, yakni setelah keterangan Ali Sabudin sebagai tersangka, di poin berikut sebagai saksi.
Jika mengacu pada format yang sudah baku, seharusnya poin kedua itu pendahuluan, bersedia diperiksa, kemudian sehat jasmani dan rohani.
“Tiba-tiba di situ ada keterangan saksi, kan aneh. Ini ada sesuatu yang tidak kita ketahui dari aparat penegak hukum. Ini ada apa?. Begitu juga sebaliknya dalam BAP tambahan, formatnya juga sama,” ujar Arry.
Ia juga menduga bahwa tanda tangan di dalam BAP tersebut bukan tanda tangan asli, melainkan hanya hasil scanning.
Biasanya, jika Penyidik memeriksa Tersangka, berkasnya akan dibuat menjadi empat rangkap, dan salah satu berkas aslinya dipegang Majelis Hakim.
Pihak Ali Sabudin sudah menanyakan dan meminta berkas BAP ini dari A sampai Z pada waktu sidang. Minta secara tertulis melalui prosedur dan mohon dilegalisir Majelis Hakim.
“Namun, jawaban hakim di saat sidang kedua justru mengarahkan kita ke jaksa. ‘Bapak Arry, kalau menanyakan berkas tanya ke Jaksa’,” kata Arry seraya menirukan penyataan hakim.
Arry mendapat berkas BAP dimaksud dari Jaksa. Namun semuanya hanya fotokopi, tidak ada yang asli. Hal itu pun disampaikan ke Majelis Hakim.
Selain itu, tambah dia, masih banyak kejanggalan lain yang ditemukan. Namun, anehnya berkas itu bisa naik ke Pengadilan.
“Padahal pemberkasan BAP nya banyak cacat hukumnya, terutama salah satunya di resume analisa kasus, berkas barang bukti itu fotokopi semua. Di dalam persidangan, kami rasa hakim kurang memperhatikannya juga,” ujarnya.
Berdasarkan analisa kasus atau yuridisnya di dalam berkas BAP, kata dia, kejadian tanggal 26 Mei 2011, tapi di situ perbuatan melawan hukumnya tertulis 21 November 2011.
“Analisa kasus poin VI yang pembahasan, khususnya pasal 44 ayat 1 melakukan perbuatan kekerasan fisik, kejadian kan tanggal 26 Mei kenapa disebutkan tanggal 21 November,” ujarnya sembari memperlihatkan berkas BAP.
Ditambah lagi, terdapat kejanggalan, ketika Lyli Susianti dirawat inap di Rumah Sakit Anugerah Bunda Khatulistiwa.
Peristiwa pidananya tanggal 26 Mei 2011. Namun, Lyli Susianti masuk rumah sakitnya 25 April 2011.
“Jadi sebelum dua minggu kejadian, Lyli Susianti sudah masuk ke rumah sakit Anugerah Bunda Khatulistiwa,” ungkapnya.
Kemudian, Arry juga menyoroti, pembahasan kesimpulan pada berkas BAP, tepatnya poin kelima. Analisanya, melenceng jauh.
Berdasarkan analisa kasus, analisa yuridisnya di atas secara subjektif dan objektif. Di situ, disebutkan telah cukup bukti tersangka, seharusnya itu kan Ali Sabudin, kenapa tertulis Lily Susianti.
“Lucunya, jadi ada dua tersangka dalam kasus ini. Nah, itulah kejanggalan-kejanggalannya,” ujarnya.
Uraian kejadian juga bertentangan dengan hasil visumnya terhadap Lily Susianti.
Disebutkan dalam berkas uraian kejadian tanggal 27 Mei 2011 dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Tapi visum dilakukan dalam waktu bersamaan dan anehnya jam 4 sore.
“Jadi visum duluan, baru ada laporan. Di pengaduan laporan juga sudah ada penerapan pasal KDRT, kan aneh,” ujar Arry.
Lebih aneh lagi, lanjut Arry, dari pengaduan sampai ke laporan polisi, sprindik, BAP dan visum itu dilakukan dalam waktu singkat, yakni hanya sehari.
“Jadi tanpa adanya gelar perkara. Seharusnya pengaduan ini kan dikaji dulu. Namun, ini sepertinya tidak dikaji,” ujar Arry.
Dengan naiknya perkara yang diduganya penuh rekayasa ini, Arry pun merasa prihatin terhadap kinerja aparat penegak hukum.
“Ternyata oknum-oknum penyidik, termasuk jaksa ini tidak teliti dalam pemberkasan perkara. Mudah-mudahan ada perhatian dari petinggi-petinggi Polri dan Kejaksaan,” pungkas Arry. (ndi)
Discussion about this post