JURNALIS.co.id – Rencana PT Satria Pratama Mandiri (SPM) melakukan penambangan emas di Sungai Kapuas, Kecamatan Mukok, Kabupaten Sanggau, masih menjadi perdebatan. Ancaman kesehatan masyarakat, kerusakan lingkungan dan pencemaran air menjadi kekhawatiran banyak pihak.
Aktivis Lingkungan Kalbar Anton P Widjaya mengatakan, bicara industri pertambangan, mau legal atau ilegal sama saja. Sama dalam konteks eksplorasi alam dilakukan secara berlebihan. Apalagi kalau mineralnya emas.
Eksplorasi, eksploitasi, dikatakan dia, dilakukan sangat masif sehingga membuat bentang lahan rusak. Maka dalam konteks izin, jaminan reklamasi untuk memastikan setelah mineralnya itu diambil, kemudian tanah itu dikembalikan ke kondisi semula menjadi satu syarat yang wajib.
“Jadi menurut saya, kita bicara industri pertambangan, sekali lagi mau legal atau ilegal itu sama merusaknya. Bahkan dalam praktek yang ada sekarang tambang-tambang legal itu karena dia legal, karena dia dapat izin, maka penggunaan alat-alat berat dilakukan sangat power full,” ujar Anton dihubungi JURNALIS.co.id, Jumat (27/01/2023).
Kalau mau jujur, menurut dia, kerusakannya lebih dahsyat dari kegiatan tambang-tambang ilegal yang kecil-kecil.
“Nah, di sini sebenarnya kata kuncinya adalah bagaimana izin-izin pertambangan ini kemudian bisa diawasi, bisa dilakukan penegakan hukum, bisa dipastikan tidak menimbulkan dampak lingkungan yang berlebihan. Kemudian keselamatan masyarakat yang ada di sekitar lokasi penembangan itu bisa dijamin oleh negara,” kata Anton.
Oleh karena itu, ia menyebut, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk memastikan usaha pertambangan betul-betul tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat, lingkungan dan lain-lain yang ada di sekitarnya.
“Dengan kata lain saya mau bilang, sebenarnya kalau pertambangan yang diberikan izinnya oleh negara, tapi kemudian yang terjadi berikutnya adalah pencemaran segala macam, negara yang harus bertanggungjawab. Karena tidak melakukan pengawasan dengan benar, tidak melakukan penegakan hukum terkait dengan praktik-praktik yang melanggar, praktik-praktik yang salah di lapangan,” tegas Anton.
Terkait pengolahan limbah, dia bilang, syarat utama bagaimana izin pertambangan bisa dikeluarkan. Syarat untuk memastikan pengolahan mineral itu tidak mencemari lingkungan. Pengolahan limbah harus dikelola dengan baik dan itu yang harus dilakukan perusahaan pertambangan.
“Saya kira terlalu banyak cerita, terlalu banyak kasus dimana pencemaran lingkungan akibat limbah pertambangan emas ini kemudian merugikan lingkungan, merugikan masyarakat. Contoh di perairan Teluk Buyat, memberikan dampak yang luar biasa. Tapi kemudian dalam konteks penegakan hukum tidak ada juga yang signifikan,” ucap Anton.
Tidak hanya dalam mengembalikan kondisi alam menjadi baik seperti semula. Dikatakannya, untuk bertanggungjawab atas kerugian masyarakat yang menderita berbagai penyakit akibat pencemaran itu juga tidak terbayarkan.
“Terkesan tidak serius, hilang cerita kasus Teluk Buyat itu,” kata Anton.
Bicara soal limbahnya pertambangan emas, lanjut dia, sebenarnya bagian dalam cerita limbah beracun B3, yang tata cara pembuangannya itu sudah diatur dalam peraturan di Kementerian Lingkungan Hidup.
“Kata kuncinya sekali lagi sama, aturannya sudah ada, tinggal bagaimana di lapangan memastikan praktik pengelolaan limbah yang baik, yang benar, yang sesuai dengan regulasi itu berjalan. Karena bocornya dimana-mana, pada proses ini,” timpal Anton.
Ia mengungkapkan, instalasi pengolahan limbah berbiaya cukup mahal.
“Daripada perusahaan membangun instalasi pengelolaan limbah yang mahal itu, di banyak kasus, tidak menuduh satu dua perusahaan, lebih baik mereka membayar para pengawas untuk memastikan ketika sidak segala macam hasilnya bagus, tetapi fakta di lapangan tidak begitu,” kata Anton.
Di sinilah, ia mengingatkan, para inspektur tambang harus serius untuk memastikan semua prosedur, semua proses pengolahan limbah berjalan dengan baik.
Menurut Anton, masyarakat memang bisa menjadi bagian untuk berpartisipasi melakukan pemantauan, memberi tekanan ketika pengolahan limbah tidak berjalan dengan baik. Tapi yang paling penting adalah ada di niat baik perusahaan dan kemampuan pengawasan oleh para inspektur tambang.
Lebih lanjut bicara pengolahan limbah, ia menyampaikan, ada proses untuk memisahkan senyawa-senyawa beracun dalam proses panjang pengolahan limbah tersebut. Sehingga limbah akhir dari pertambangan emas harusnya tidak lagi mengandung senyawa beracun.
“Tempat penampungan akhir limbah itu seharusnya tidak dibuang ke dalam sungai. Kalau dibuang ke sungai, apalagi itu Sungai Kapuas, itu sama juga saya kira pemerintah mengadaikan untuk keuntungan pajak secuil, tapi memberikan kerugian yang luar biasa kepada lingkungan dan seluruh masyarakat yang memanfaatkan Sungai Kapuas di Kabupaten Sanggau untuk kepentingan sehari-hari,” kata Anton.
Mengenai penambangan emas di sungai apakah ada aturannya, dalam perspektif Anton sungai harus dijaga. Tetapi peraturan membolehkan mengambil pasir, mengambil batu, termasuk emas, diberikan izin. Persoalannya apakah izin penambang di sungai dibarengi dengan kemampuan pengawasannya.
“Saya kira kita tidak perlu mempertanyakan seberapa mampunya pemerintah melakukan pengawasan, kita tahu sejarah panjang Sungai Kapuas dari Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau, Sanggau sampai ke Pontianak. Kenapa airnya sangat keruh, kenapa riset terakhir FMIPA Untan dengan Walhi menyebut kandungan merkurinya membuat air sudah tidak layak konsumsi. Penyebab utamanya ya karena memang tidak ada kemampuan untuk melakukan pengawasan selain ada tambang ilegal yang ikut menjamur di sepanjang Sungai Kapuas,” katanya.
Oleh karena itu, Anton berpandangan, dalam hal regulasi kebijakan inilah, tidak kemudian karena aturan secara nasional dibolehkan, maka tidak ada diskresi, tidak ada kebijakan lokal untuk menyelamatkan sungai-sungai yang secara kualitas dan kuantitas air sudah hancur semua.
“Jadi menurut saya stakeholder penting di pemerintah yang mengatur soal sumber daya alam, yang mengatur soal bagaimana pengerukan, deposit-deposit mineral itu dilakukan harus berpikir di luar aturan. Kalau situasinya sudah sangat darurat, ya logikanya tidak dikeluarkan lagi izin-izin untuk semakin menghancurkan sungai-sungai kita,” ujarnya.
Meskipun dibolehkan, Anton mengingatkan, tapi dengan syarat yang sangat ketat.
“Kita tahu syarat yang ketat itu tidak mungkin bisa dipenuhi oleh perusahaan yang mengeruk tambang di sungai atau di pinggir sungai. Karena kita semua sudah tahu faktanya bagaimana hancurnya sungai melawi, hancurnya sungai Kapuas, sungai-sungai lain di Kapuas Hulu dan Ketapang, semuanya gara-gara tambang,” katanya.
Anton berharap, ada satu langkah maju dari pemerintah untuk menghentikan tambang-tambang yang ada di sungai. Memulihkan lagi fungsi-fungsi sungai-sungai agar kehidupan dalam konteks lingkungan hidup yang luas menjadi lebih baik.
Jauh lebih elegan, kata dia, memberikan hak kepada masyarakat terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi kehidupan manusia, daripada hanya keuntungan secuil negara dari pajak perusahaan-perusahaan tambang emas di sungai atau di bibir sungai. Jauh lebih bermartabat menyelamat lingkungan daripada sebagai aparatur yang berwenang kemudian mendapat pemasukan-pemasukan lain di luar gaji dari sektor tambang ini.
“Saya kira ini memang hal yang sangat serius kenapa kemudian di tahun 2017-2018 KPK juga sangat serius bicara soal korupsi di bidang pengolahan sumber daya alam, salah satu yang utama itu memang di bidang pertambangan ini. Mudah-mudahan ini menjadi kesadaran semua stakeholder, apalagi pemerintah yang hari ini berwenang memastikan hajat hidup orang banyak bisa terjamin dengan baik,” tutup Anton. (jul)
Discussion about this post