JURNALIS.co.id – Telah banyak kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah Indonesia dan internasional terkait perkebunan sawit berkelanjutan. Berbagai kebijakan yang diterapkan untuk memastikan perusahaan perkebunan sawit benar-benar berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan CPO. Yang mana CPO akan diolah dengan berbagai produk turunannya kosmetik, minyak goreng, mentega, shampo, es krim dll. Dan pengelolahan produk tersebut dari hulu sampai hilir diproduksi oleh Buruh.
Aspek lingkungan telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan pasar internasional, terutama pada aspek hutan. Sehingga perusahaan perkebunan sawit di Indonesia menjadi perhatian serius terkait deforestrasi dan kebakaran hutan serta gambut. Tahun 2011 s/d 2020 menjadi titik nadir atas deforestrasi dan kebakaran hutan dan lahan gambut, yang menyebabkan terjadi tekanan dan penolakan produksi CPO dan turunannya dari Indonesia oleh internasional. Namun yang terlupakan adalah yang memproduksi yaitu buruh.
Buruh perkebunan sawit, tidak hanya mengalami pelanggaran atas hak-haknya namun juga secara langsung merasakan dampak perubahan lingkungan dan perubahan iklim. Namun demikian mereka tetap menjalankan pekerjaan poroduksinya. Buruh perkebunan adalah penyelamat devisa negara ketika wabah Covid-19, karena buruh perkebunan sawit tetap produksi dan berkerja menurunkan TBS untuk diproses menjadi CPO kemudian diolah lagi menjadi produk lainnya yang kemudian dapat di ekspor. Namun tetap saja minyak goreng dan produk berbahan dasar CPO, buruh masih harus membeli dan bahkan dengan harga yang cukup tinggi ketika terjadi kelangkaan minyak.
Kondisi Umum Kalimantan Barat
Telah kita ketahui bersama Kalimatan Barat (Kalbar) menjadi provinsi dengan luas area perkebunan sawit nomor 2 di Indonesia dengan total luas 2.039.203 hektar (untan.ac.id), setelah provinsi Riau. Sejak demam perkebunan sawit tahun 1999, provinsi Kalbar telah menyumbang dan berkonstribusi pada bencana kebakaran hutan dan lahan. Sehingga sampai saat ini sektor perkebunan sawit di Kalbar masih menjadi perhatian di Indonesia dan internasional.
Group besar perkebunan sawit bertaburan di Kalbar seperti WILMAR, Sinarmas/GAR, Sime Darby, Musim Mas, HPI/Djarum, Gunnas/Incasi Raya, Julong Group, Genting Group, IOI, Cargill, LG, BGA, DSNG, FR, Felda, Aditiya Agroindo dan Indofood. Belum lagi perusahaan-perusahaan cangkang dan perusahaan-perusahaan lokal seperti PTPN, Alas Kusuma serta orang-orang kaya yang membuka perkebunan sawit di bawah 5000 hektar.
Dalam rantai masalah perkebunan sawit di Kalbar tidak hanya soal lingkungan namun juga masalah sosial, salahsatunya adalah pekerja/buruh. Buruh perkebunan sawit di Kalbar terbagi 2 yakni; (1) buruh yang berasal dari masyarakat adat/lokal dan, (2) buruh yang didatangkan atau buruh dari luar Kalbar (program pirtransbun, biro jasa kerja) serta luar kecamatan/kabupaten di Kalbar.
Investasi perkebunan sawit telah membuka lapangan pekerjaan masyarakat. Hasil riset salah satu lembaga yang bergabung dalam Koalisi Buruh Perkebunan sawit (KBS) yaitu TURC, tahun 2018 tercatat 566,972 orang buruh di perkebunan sawit Kalbar.
Jumlah ini tentunya memberikan gambaran pada kita, begitu besar jumlah buruh perkebunan sawit yang ada di Kalbar. Ini yang terdata, yang terdata biasanya buruh/pekerja di manajemen sampai mandor dan buruh-buruh yang statusnya sudah PKWTT/buruh tetap. Jika kita berasumsi 1 hektar kebun sawit kerjakan oleh 1 buruh saja maka sudah terdapat 2 juta buruh, jika melihat luas perkebunan sawit yang telah ber-HGU 2,017.456 hektar. Artinya ada lebih dari 1 juta buruh yang tidak terdaftar di dinas tenaga kerja, yang dapat dikatakan sebagai buruh harian lepas atau dikenal PKWT.
Jika kita hitung rata-rata pekerjaan di perkebunan sawit dalam luas lahan 1 hektar atau 1,6 hektar terdiri dari 1 buruh pemanen, 1 buruh pemupuk, dan 1 buruh perawatan, artinya ada 3 orang buruh, artinya harus lebih jumlah buruh bukan hanya 566,972 orang.
Masalah yang ada terus berulang, setelah adanya pertemuan dengan pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Barat, pada tanggal 17 Maret 2023 yang telah melahirkan dokumen rencana kerja bersama untuk perbaikan kondisi kerja buruh sawit, beberapa perusahaan perkebunan sawit telah memulai dialog dengan serikat buruh, seperti PT. BPK (Wilmar), PT. AAG dan PT. SAP (Genting), namun tetap saja ada perusahaan yang arogan bahkan memaksa buruhnya untuk mengundurkan diri dengan dengan alasan yang tidak jelas dan dipaksakan, bahkan mengkondisikan bagaimana supaya buruh berkerja tidak mencapai 21 hari kerja, sehingga perusahaan tidak terbebani atas kewajiban menaikkan status buruh dan menghindari biaya pengeluaran jika akan di PHK.
Awal yang Baik Menuju Perkebunan Sawit Berkelanjutan di Kalbar
Bicara perkebunan sawit, tidak hanya pada aspek perusahaan untuk terus mendapatkan keuntungan dan perlindungan oleh pemerintah. Fakta pelaku utama dalam sektor perkebunan sawit adalah para buruhnya yang telah berkontribusi dan memberikan pendapatan negara yang besar. Namun sayangnya mereka selalu dilupakan oleh pemerintah.
Langkah awal telah dilakukan oleh pemerintah provinsi Kalbar dalam hal ini adalah Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, yang membuat acara FGD bersama Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalbar, Lembaga Teraju Indonesia (anggota KBS). FGD tersebut mengundang grup besar perusahaan perkebunan sawit, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesa dan, perwakilan buruh yang bergabung dalam serikat buruh kebun di 5 perusahaan besar. Dalam FGD tersebut telah melahirkan rencana aksi perbaikan kondisi buruh perkebunan sawit di Kalimatan Barat, dengan contoh utama di 5 perusahaan di 5 serikat buruh yaitu, PT. BPK, PT. SJAL, PT. AAG, PT. AAN dan PT. SAP.
Dalam pelaksanaan rencana kerja tersebut akan dilakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev) bersama yang melibatkan pihak Pemerintah, Federasi, Serikat Buruh, Perusahaan, Lembaga Teraju Indonesia dan jaringan dalam Koalisi Buruh Sawit (KBS) serta GAPKI Kalbar. Tentunya dengan harapan kedepan terjadi perbaikan kondisi buruh perkebunan sawit, baik peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak yang tertuang dalam peraturan dan perundangan Indonesia, ILO dan kebijakan internasional terutama sektor perburuhan.
Rekomendasi lanjutan
Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu membuat dan menerbitkan perda tentang perlindungan buruh perkebunan sawit yang detail.
Buruh perkebunan sawit, wajib dilibatkan dalam pembicaraaan tentang perbaikan dan tata kelola perkebunan sawit, apa lagi terkait pada aspek lingkungan. Apa lagi kini telah lahir kebijakan UE tentang pertanian dan perkebunan no deforestasi.
Terkait poin 1, FSBKS-KALBAR bersama Koalisi Buruh Sawit siap berkerja sama, terkait penyusunan rancangan perda dan naskah akademiknya. Untuk poin 2, perlu adanya kebijakan setingkat Surat Keputusan Gubernur dan Bupati, untuk memberikan perlindungan terhadap buruh yang bersuara dan berjuang untuk perbaikan lingkungan.
Perlu diberikan penghargaan kepada serikat buruh dan perusahaan yang telah berkerja sama untuk melakukan perbaikan kondisi kerja dan pemenuhan hak-hak buruh yang berujung pada peningkatan produksi dan terujudnya perkebunan sawit berkelanjutan di Kalbar, khusus 5 serikat di 5 perusahaan perusahaan perkebunan sawit. ***
Agus Sutomo
Direktur Exsekutif Teraju Indonesia
(Ndi)
Discussion about this post