Oleh: Dionna Aurelia Winayu

Background
Konflik dalam suatu negara tidak terlepas secara internal maupun eksternal. Perkara dalam negara dapat timbul disebabkan oleh adanya kepentingan politik negara ataupun terdapat kepentingan pribadi. Terjadinya konflik menyebabkan sistem keamanan dan ketertiban terganggu, ancaman dari konflik yang terjadi yaitu campur tangan militer yang mana dapat mengakibatkan terjadinya tindakan kudeta.
Kudeta merupakan tindakan intervensi militer, dalam pelaksanaan demokrasi kemunduran perkembangan negara dapat dilihat melalui adanya kudeta. Tentunya permasalahan ini dialami oleh Myanmar, negara Myanmar mengalami perkembangan dan perubahan dalam proses bernegara. Yang menjadi fokus utama pada masalah ini yaitu terganggunya proses demokrasi di Myanmar disebabkan oleh adanya hubungan antara sipil dan militer serta campur tangan militer. Selain itu, hal ini ditandai melalui segi ekonomi, seni budaya, masyarakat dan politik.
Menelusuri sejarah beberapa tahun terakhir dari militer negara Myanmar mempunyai peran dalam perjalanan politik yang lebih dominan. Kudeta di Myanmar ini telah mengalami beberapa fase hingga saat ini, bahkan sebelum adanya nama Burma yang telah menjadi Myanmar peristiwa kudeta sudah terjadi di negara ini pada tahun 1962 pada saat pemerintahan junta militer yang berkuasa bernama Tatmadaw. (Khaldun 2021).
Tepat pada 2 Maret 1962 kudeta terjadi dan menjatuhkan pemerintahan asli. Pada rentan waktu 12 tahun awal setelah konflik kudeta tahun 1962, negara Myanmar berposisi di bawah pemerintahan darurat militer, dimana perluasan yang sangat cepat dari peran militer dalam berbagai bidang yaitu politik, perekonomian nasional dan birokrasi.
Ketika militer Kembali merebut kursi kekuasaan pada saat itu terbentuklah Lembaga Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara. Myanmar terus dikuasai oleh militer hingga tahun 2011 dan saat akhir kekuasaan ditandai oleh awal mula demokrasi Myanmar. Partai politik yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi Bernama Partai Demokrasi Nasional (NLD) memenangkan pemilu tahun 2015. (Willi 2022). Namun peran militer tetap mempunyai kekuatan yang besar dalam pemerintahan Myanmar, Partai NLD Kembali merenggut kursi kemenangan pemilu Myanmar pada 8 November tahun 2020 bahkan selisih perbedaan suara antara partai oposisi dengan partai NLD jauh lebih besar. Perolehan suara yang didapat partai NLD sebesar 396 dari total 476 di parlemen, sedangkan perolehan suara partai oposisi hanya mendapatkan 33 kursi saja.(Rizki 2021). Kekalahan yang didapat oleh partai Tatmadaw tentunya menjadikan penolakan yang besar, hingga mengklaim bahwa terjadi kecurangan pada saat pemilu oleh partai Aung San Suu Kyi.
Berdasarkan atas tuduhan yang ada, Tatmadaw kemudian mengerahkan barisan militer pada 29 Januari 2021 di berbagai daerah Myanmar. Kudeta yang telah lama terjadi kini terulang kembali pada tahun 2021 hingga menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh junta militer, lalu bagaimana ASEAN sebagai organisasi bagi setiap negara di Asia Tenggara menanggapi permasalahan ini?
Discussion
Selama enam dekade terakhir sejarah Myanmar tidak lepas dari genggaman kediktatoran pihak militer, meskipun saat menjelang tahun 1962 negara Myanmar sudah berada dalam posisi kondusif dan relatif stabil. Dengan berbagai permasalahan yang dihadapkan oleh negara mulai dari tekanan internasional hingga konflik demonstrasi dan krisis ekonomi. Tatmadaw sebagai militer Myanmar memanfaatkan keadaan guna memperkuat dominasinya hingga saat ini masih mengendalikan pemerintahan.
Pada tahun 2021 Tatmadaw melakukan aksi untuk menjatuhkan kekuasaan di kota Naypyidaw, aksi ini berlangsung hingga terjadi penahanan terhadap tokoh-tokoh besar politik Myanmar yaitu Aung San Suu Kyi serta Win Myint yang merupakan presiden Myanmar dan para pemimpin partai nasional. Aksi ini terjadi disebabkan oleh tidak terimanya partai oposisi atas kekalahan pemilu yang berlangsung pada tahun 2020 silam. Setelah konflik kudeta terjadi, Min Aung Hlaing seorang Panglima Tertinggi militer Myanmar memberi pengumuman bahwa ia menjadi pemimpin Myanmar.
Tepat pada tanggal 2 Februari 2021, 400 anggota parlemen ditahan oleh militer Myanmar. Peristiwa kudeta yang terjadi mengundang ratusan ribu rakyat Myanmar mengadakan aksi demonstrasi untuk peristiwa ini, para petugas Kesehatan dan warga sipil menciptakan suatu Gerakan Bersama yaitu Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM). Namun Min Aung Hlaing demi memperkuat kedudukan militer dan memperkuat pengaruhnya dalam pemerintahan serta guna menekan para demonstrans Myanmar maka dibentuklah Dewan Administrasi Negara (SAC). (Rizki 2021).
Beberapa hari demo berlangsung cara Militer Myanmar menanggapi para demonstran ini dengan kekerasan brutal hingga menyebabkan korban jiwa dari warga sipil dan terdapat salah satu korban bernama Mya Thwe Thwe Khaing yang menjadi sorotan dalam konflik ini. Pada tanggal 9 februari 2021 hari pertama dari tindak kekejaman Tatmadaw terhadap korban Mya Thwe Thwe Khaing hingga meninggal dunia.

Tindakan ini menjadi bukti nyata dari pelanggaran Hak Asasi Manusia hingga 28 Februari 2021 menimbulkan lebih banyak korban jiwa yang dilakukan oleh aparat Myanmar. Bahkan pada September 2021 korban jiwa akibat konflik kudeta mencapai lebih dari 1.100 orang. (Devina 2021). Tidak hanya itu, Tatmadaw juga mengesahkan undang-undang keamanan Cyber untuk meminimalisir hak-hak politik warga negara demi meredam pendapat kontradiktif.
Aksi dari junta militer Myanmar merupakan suatu tindakan kesewenang-wenangan serta telah melanggar Konvensi Internasional pasal 9 ayat 1 tentang hak-hak sipil, didalamnya berbunyi: “Setiap jiwa mempunyai hak untuk mendapat kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak ada satu pun warga negara yang dapat ditahan dengan sepihak, tidak seorang pun kebebasannya dapat direnggut kecuali hal tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang sah dan telah sesuai prosedur hukum”
Peristiwa Kudeta Myanmar menimbulkan respon oleh ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara untuk mengambil langkah dan peran lebih aktif. Dalam menanggapi peristiwa kudeta Myanmar negara-negara anggota ASEAN terbagi menjadi dua pandangan. Terdapat negara Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam yang berpihak pada pemerintahan junta militer, Adapun Singapura, Filipina, Indonesia dan Malaysia yang menentang junta militer. Setiap negara-negara anggota ASEAN memiliki pendapat yang berbeda, Prawit Wongsuwan sebagai Wakil Perdana Menteri Thailand memiliki pandangan bahwa kudeta Myanmar merupakan konflik internal.
Teodoro Locsin Jr sebagai Menteri luar negeri Filipina beranggapan jika kudeta di Myanmar merupakan aksi guna memberi perlindungan terhadap demokrasi Myanmar. Pemimpin Kamboja yaitu Hun Sen menyatakan juga bahwa hal ini merupakan perkara dalam negeri dan tidak perlu terdapat campur tangan. Sementara Singapura, Indonesia dan Malaysia menginginkan agar semua semua pihak dapat bersama-sama mengatasi konflik yang terjadi melalui jalur dialog.

Namun pada akhirnya konflik kudeta ini ditangani bersama dan menghasilkan 5 konsensus yang disepakati oleh 10 negara anggota ASEAN termasuk Myanmar sendiri melalui KTT yang diselenggarakan pada tanggal 24 april 2021.(Jusmalia 2022). 5 konsensus yang telah disepakati yaitu:
- Semua yang terlibat dalam konflik ini sudah seharusnya ditahan dan kekerasan yang ada secepatnya dihentikan
- Perlunya dialog positif antar semua yang terlibat demi mewujudkan solusi damai bagi masyarakat
- Bantuan fasilitas akan disediakan oleh pihak ASEAN guna kelancaran dialog
- Melalui tangan ketiga yaitu AHA Centre, ASEAN juga memberi bantuan kemanusiaan
- Para delegasi ASEAN akan berangkat ke Myanmar dengan tujuan menjumpai semua pihak terlibat
5 poin consensus hasil dari kesepakatan negara-negara ASEAN ini merupakan tujuan untuk dapat mengembalikan keadaan di Myanmar agar dapat kembali normal dan kekerasan terhentikan. Pada pertemuan yang berlangsung tidak menjabarkan mengenai pelanggaran oleh Myanmar, namun membahas tentang aksi kekerasan dan telah menerima adanya laporan kematian dari warga yang sedang memperjuangkan hak politik dimana hal ini telah melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini ASEAN mempunyai tujuan untuk memberi peran produktif dan ruang yang dapat mendukung misi yang berangkat melalui bantuan kemanusiaan. Dapat dilihat peran ASEAN sebagai wadah bagi forum untuk dapat menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang akan direalisasikan menjadi aksi nyata guna menghentikan kekerasan sesuai dengan nilai dari piagam ASEAN.
Tetapi di sini Myanmar belum mewujudkan kesepakatan yang telah dibuat, Myanmar berpandangan bahwa tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam ASEAN Charter. Dalam pendapat ASEAN Myanmar telah melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal konstitusional pemerintahan karena bagi ASEAN saat pergantian pemerintahan harus dijalani secara damai dengan proses demokratis sedangkan Myanmar menganggap jika kudeta yang dilakukan merupakan aksi sah bagi konstitusi negaranya. Maka perbedaan perspektif yang ada menghambat jalan untuk dapat merealisasikan 5 poin consensus yang telah disepakati.
Di balik kesepakatan 5 konsensus ASEAN pada dasarnya dibatasi oleh prinsip non-intervensi yang dipegang oleh negara anggota. Arti dari prinsip tersebut merupakan bentuk agar tidak terjadi campur tangan dalam aksi internal suatu negara. (Zahratunnisa and Mabrurah 2021). Hal ini menjadikan ASEAN serta pihak manapun tidak dapat memaksa junta militer Myanmar untuk memasrahkan kekuasaannya berbalik kepada pemerintahan sipil. Dengan demikian kendali junta militer berada di atas rezim otoriter dan militer akan terus mempunyai kuasa sehingga hal ini buruk bagi stabilitas kawasan terutama Myanmar dalam konteks kebebasan dan demokrasi rakyat. Pemberian sanksi sudah pasti tidak diterima oleh beberapa anggota ASEAN meninjau terdapat sejarah basis militer dalam pemerintahan beberapa anggota yang menyerupai Myanmar.
Conclusion
Dapat disimpulkan bahwa Myanmar telah melakukan pelanggaran hak-hak yang telah melekat kepada setiap warga negara Myanmar terutama hak politik masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dengan cara demonstrasi dalam melawan peristiwa kudeta militer Myanmar. Kekerasan yang dilakukan junta militer Myanmar menyebabkan banyak korban jiwa berjatuhan dan secara sepihak mengesahkan peraturan mengenai Cyber dimana hal ini semakin menghimpit hak-hak politik seluruh warga negara Myanmar. Pada peristiwa di Myanmar ini ASEAN sebagai organisasi regional berperan aktif dan menjadi sarana kerjasama serta komunikasi. Tidak hanya itu, ASEAN juga menjadi wadah dalam forum untuk dapat menghasilkan kesepakatan bersama anggota-anggota ASEAN.
Dalam forum yang dilaksanakan telah menciptakan 5 konsensus yang tentunya disepakati oleh Myanmar, namun terdapat hambatan dalam merealisasikan konsensus. Disebabkan oleh Myanmar yang berpegang teguh dalam prinsip non-intervensi serta mengabaikan prinsip demokrasi. Peran ASEAN dalam peristiwa ini belum sepenuhnya terealisasikan disebabkan ASEAN juga memegang prinsip tidak ikut campur sehingga kekerasan dapat dihentikan oleh Myanmar sendiri dan segala bentuk peran ASEAN adalah bagian dari upaya ASEAN dalam menanggapi konflik pelanggaran Hak Asasi Manusia setelah kudeta militer Myanmar.
Bibliography
Alston, Prof. P., and Prof F. Magnis-Suseno. 2008. HUKUM HAK ASASI MANUSIA. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Devina Halim. 2021. “Korban tewas kudeta militer Myanmar lebih dari 1.100 orang.” Anadolu Ajansi. https://www.aa.com.tr/id/politik/korban-tewas-kudeta-militer-myanmar-lebih-dari-1100-orang/2366956#.
Jusmalia Oktaviani. 2022. “Peran ASEAN dalam Menghadapi Isu Pelanggaran HAM Pasca Kudeta Militer di Myanmar Tahun 2021.” Jurnal Hubungan Internasional Fajar 1 (1): 1-13.
Khaldun, Riady I. 2021. “Implikasi Konflik Kudeta Militer Myanmar terhadap Sanksi Internasional.” Indonesia Journal of Peace and Security Studies 3 (1): 14-22.
Rizki Roza. 2021. “KUDETA MILITER DI MYANMAR: UJIAN BAGI ASEAN.” Info Singkat 13, no. 4 (Februari): 7-11.
Willi Ashadi. 2022. “KUDETA JUNTA MILITER MYANMAR TERHADAP AUNG SAN SUU KYI 2021.” Dauliyah: Journal of Islam and International Affairs 7, no. 1 (July): 138-164.
Zahratunnisa Ramadhani, and Mabrurah. 2021. “Pengaruh Prinsip Non-intervensi ASEAN terhadap Upaya Negosiasi Indonesia Dalam Menangani Konflik Kudeta Myanmar.” Global Political Studies Journal 5, no. 2 (Oktober): 126-142. (*)
*Penulis: UII Yogyakarta Semester IV





Discussion about this post