JURNALIS.co.id – Pertunjukan teater ini dimulai dengan adegan gotong royong yang sedang dilakukan warga rukun tetangga (RT) Gang Gugus Depan. Kaum bapak dan ibu-ibu serta anak usia sekolah bahu-membahu membersihkan wilayah mereka. Ada yang mengecat rumah, menyapu halaman, membersihkan pekarangan, dan sebagainya.
“Pemilihan umum telah memanggil kita. Seluruh rakyat menyambut gembira….” Mars pemilu era Orde Baru karya Mochtar Embut sayup terdengar erat dalam menggiring opening gotong royong, mengajak penonton flashback dalam pesta demokrasi pada tahun-tahun Pemilu sebelumnya.
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, mohon perhatiannya,” ujar salah seorang ibu dalam dialek daerah. “Untuk menu makan gotong royong kita kali ini, siapa yang setuju Lontong Sayur, dan siapa yang sepakat menu Nasi Kuning?” lanjut sang Ibu.
Sontak perhatian warga tersedot, lalu sementara waktu menghentikan aktivitas masing-masing. Para pemain di atas panggung membagi diri dalam dua aspirasi, membelah persepsi sambil menakar asupan gizi dari dua menu yang ditawarkan oleh panitia konsumsi.
Ya, memang seperti itulah makna demokrasi dalam praktiknya di RT Gang Gugus Depan. Sesederhana memilih dua menu makanan. Semudah menakar buliran keringat dari usaha yang dikeluarkan versus berapa jumlah karbohidrat berbumbu perasa yang diasup sebagai penggantinya.
Putu Wijaya, dalam karya monolognya berjudul “Demokrasi” (1994-2006), yang dikonstruksi ulang oleh Ali Wafan dalam bentuk tulisan, bermaksud hendak berbagi wacana, pemahaman dan realita konkret hari ini kepada penonton, perihal bagaimana “Demo-Kreasi” secara substansi akan lahir kembali melalui garis koordinasi pada struktur politik terkecil (RT Gang Gugus Depan) dalam masyarakat kita.
Tentunya alur pertunjukan drama berdurasi 60 menit yang dipersembahkan oleh Komunitas Santri IAIN Pontianak ini, dimainkan dengan tetap mempertahankan konsepsi teror mental ala Putu Wijaya, tebal dengan paradoks serta plot-plot humoris.
Frame martir demokrasi ala Tunisia, Mohammed Bouazizi hingga Jina Mahsa Amini, Republik Islam Iran menjadi referensi estetis ketika Siti salah seorang warga tertembak dalam aksi protes terhadap keputusan sepihak terkait pelebaran jalan RT Gang Gugus Depan. “Sedikit dimirip-miripkan pada kejadian di Indonesia belakangan ini,” tutur XMRidho selaku sutradara “Demo-Kreasi”. Menurutnya demokrasi harus konsisten pada tujuannya, yaitu kesejahteraan bersama.
Lewat pementasan ini Komunitas Santri IAIN Pontianak juga mengajak para penonton (yang mayoritas merupakan kaum milenial dan Gen Z) untuk sadar akan pentingnya makna demokrasi di Indonesia agar generasi milenial lebih bijak dalam menggunakan hak suaranya dalam pesta demokrasi tahun depan atau Pemilu 14 Februari 2024.
Salam Demokrasi. Selamat Natal dan Selamat Menyambut Tahun Baru 2024 bagi kita semua. Merdeka.
Naskah : DEMO-KREASI Karya Ali Wafan (Adaptasi dari naskah monolog. Putu Wijaya).
Sutradara : XMRidho
Persembahan : TEATER KOMSAN IAIN Pontianak. Januari 2024, di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Barat.
***
(R/Ndi)
Discussion about this post