JURNALIS.CO.ID – Kejaksaan Negeri Sanggau telah menetapkan petugas tera pada Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) dan UM Kabupaten Sanggau berinisial GL sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pembayaran tera/tera ulang dalam kurun waktu 2020 – 2023.
Penetapan tersangka dilakukan penyidik kejaksaan pada Senin (05/08/2024). Usai diperiksa, GL yang berstatus ASN itu langsung ditahan di Rutan Kelas IIB Sanggau.
Tera adalah tanda uji pada alat ukur. Sementara tera ulang adalah pengujian kembali secara berkala terhadap alat Ukur, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP).
Menanggapi kasus tersebut, pengamat hukum Kalbar, Herman Hofi Munawar mengatakan, apabila terjadi pungutan liar (pungli), tidak boleh terburu-buru disimpulkan sebagai pelanggaran pidana korupsi.
Menurut dia, kalau dipersangkakan pungli, maka dapat dikategorikan sebagai pemerasan, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 368 KUHP yang bunyinya “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.
“Dalam pasal ini terdapat unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif perbuatan memaksa, ada yang dipaksa upaya memaksa dengan ‘kekerasan’ atau ‘ancaman’, tujuan mendapatkan uang. Unsur subjektif dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,” katanya saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu (07/08/2024).
Herman Hofi menyebut, kasus ini dapat dikategorikan pungli aktif. Karena sudah berlangsung cukup lama, namun pihak pengguna jasa hanya diam saja tidak mempertanyakan sejumlah uang yang harus dibayar.
“Kalau pihak kejaksaan mengkategorikan korupsi, maka sangat tidak adil kalau hanya dibebankan pada tersangka itu sendiri, tidak ada pihak lain yang ditersangkakan. Seharusnya pimpinan tersangka ditersangkakan juga, dan pihak pengguna jasa harusnya juga begitu,” ujarnya.
Selain itu menurut Herman Hofi, harus juga dinilai apakah pihak pemberian sejumlah uang oleh penerima pelayanan kepada petugas pelayanan terjadi secara sukarela atau terpaksa.
Namun kalau kasus ini masuk kategori korupsi, ia mengatakan, pihak pemberi dan pimpinannya harus dikenai pertanggungjawaban pidana. Karena hal ini berlangsung cukup lama, tidak masuk akal jika pimpinannya tidak mengetahui.
Di samping itu, Herman Hofi juga menambahkan, katakanlah kasus ini dimasukkan kategori korupsi, maka akan ada konsekuensinya bagi kejaksaan terkait dengan biaya operasional kejaksaan yang harus ditanggung negara.
“Hal ini karena perkara korupsi di Sanggau tidak ada pengadilan tipikor, yang ada hanya di Pontianak. Jangan kita mau mengembalikan kerugian negara, tapi justru pengeluaran lebih besar dari yang akan dikembalikan,” pungkasnya. (jul)
Discussion about this post