Oleh: Rosadi Jamani
Tanggal 10 November adalah simbol kebangkitan jiwa nasional. Hari di mana Indonesia merayakan heroisme yang menjelma di medan Surabaya. Hari melawan kekuatan kolonial dengan nyawa sebagai taruhan. Namun, ketika suara meriam kini membisu, ketika senjata tidak lagi diangkat untuk bertempur, apa makna Hari Pahlawan dalam hiruk-pikuk abad ke-21 ini?
Di era modern ini, musuh yang kita hadapi bukan lagi berbentuk kapal perang atau serdadu bersenjata. Mereka hadir dalam wujud yang lebih abstrak, kadang samar, namun sama menggerogoti nadi kebangsaan.
Ketimpangan Sosial adalah satu wajah musuh itu. Jurang yang menganga antara yang kaya dan miskin menorehkan luka di tubuh bangsa. Ini menciptakan rimba sosial di mana harapan sering kali direnggut sebelum sempat tumbuh. Seorang pahlawan masa kini harus berani menantang struktur ketidakadilan. Ia harus menyuarakan keadilan yang merata agar semua bisa menikmati kemerdekaan dalam maknanya yang utuh.
Di balik kaca buram kekuasaan, korupsi menggeliat, menelusup seperti hama yang rakus menggerogoti akar bangsa. Bayangkan sebatang pohon yang rindang dari luar, namun keropos di dalam. Pahlawan zaman ini adalah mereka yang berani menentang arus, yang menjunjung integritas di atas keserakahan dan nyaman dengan telapak tangan bersih, meski berisiko dicap ‘tak realis.’
Degradasi lingkungan menyeruak sebagai ancaman yang lebih sunyi namun mematikan. Udara yang dulunya mengantar harum hujan kini bercampur aroma bensin. Hutan yang semula jadi mahkota nusantara kini hanya tersisa dalam nyanyian burung yang terusir. Pahlawan modern harus memeluk bumi dengan tindakan nyata, menanam pohon, mengurangi jejak karbon, dan menyuarakan keseimbangan.
Lihatlah disinformasi dan hoaks, racun yang menyebar di setiap ketukan jari, memecah belah masyarakat dengan tipuan yang halus. Masyarakat mudah terkoyak oleh informasi keliru yang disebarkan dengan dalih kebenaran. Di sini, pahlawan adalah para penegak literasi, penjaga kebenaran yang menyala dalam terang kebijaksanaan dan nalar.
Jangan lupa tentang intoleransi dan radikalisme, duri dalam daging kerukunan. Kita adalah bangsa yang beraneka ragam, diikat oleh sumpah luhur persatuan. Pahlawan modern adalah mereka yang mempromosikan dialog, melawan kebencian dengan cinta, menjembatani jurang perbedaan dengan pengertian.
Terakhir, kesehatan masyarakat terbukti menjadi ujian kolektif terbesar di era kita. Pandemi COVID-19 mengajari kita bahwa ketangguhan bukan hanya soal kekuatan individu, tetapi juga sistem yang mendukungnya. Dalam hal ini, tenaga kesehatan, relawan, dan mereka yang mendukung solidaritas sosial adalah pahlawan di balik masker dan alat pelindung diri.
Di Hari Pahlawan ini, kita diingatkan bahwa semangat kepahlawanan tak mengenal batas waktu. Ia bukan sekadar kisah perjuangan di medan perang, tetapi perjuangan batin dalam menjalankan amanat kebangsaan. Setiap keberanian yang menantang ketidakadilan, setiap tindakan kecil yang menjaga persatuan, dan setiap upaya untuk menjadikan Indonesia tempat yang lebih baik adalah bentuk heroisme yang patut dikenang dan diteruskan.
Perjalanan panjang bangsa ini membutuhkan pahlawan-pahlawan yang berani dan penuh integritas. Dari pemimpin yang memerintah dengan kejujuran hingga rakyat biasa yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Karena menjadi pahlawan di zaman ini adalah tentang memahami bahwa perjuangan tak pernah usai, hanya berubah bentuk saja. (*)
*Penulis: Ketua Satupena Kalbar
Discussion about this post