JURNALIS.CO.ID – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang bersama Balai Taman Nasional Gunung Palung dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) melakukan pelepasan satu individu orang utan (pongo pygmaeus) bernama Marisa.
Pelepasan dilakukan di Bukit Daun Sandar, RPTN II Sempurna, Taman Nasional Gunung Palung, Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Kamis (14/11/2024).
Orang utan betina berusia 6 tahun ini sebelumnya diselamatkan dari kasus konflik manusia-orang utan oleh tim gabungan Wildlife Rescue Unit (WRU) BKSDA Kalimantan Barat, Balai Tanagupa dan YIARI, di salah satu kebun milik warga di Desa Riam Berasap, Kecamatan Sukadana, KKU, 10 Juli 2024.
Marisa diselamatkan setelah induknya ditemukan mati di kebun warga. Berdasarkan hasil nekropsi tim medis YIARI, kematian induknya diduga disebabkan oleh infeksi akibat luka yang cukup dalam di punggungnya.
Sementara itu, Marisa juga ditemukan dengan luka parah di kaki kanannya. Luka ini diduga disebabkan oleh senjata tajam. Melihat kondisi tersebut, BKSDA Kalbar memutuskan untuk menitip-rawatkan anak orang utan ini ke Pusat Penyelamatan Orangutan YIARI di Desa Sungai Awan Kiri, Kecamatan Muara Pawan.
Setelah empat bulan menjalani perawatan intensif di bawah pengawasan tim medis dan perawat satwa di pusat rehabilitasi orangutan YIARI, Marisa dinyatakan pulih dan siap untuk dikembalikan ke habitat aslinya yang lebih aman.
Koordinator tim medis YIARI, Fina Fadiah menegaskan, luka Marisa sudah sembuh dan dia bisa segera dikembalikan ke habitatnya.
“Saat ini luka di Marisa sudah sembuh dan setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, kami yakin sudah saatnya Marisa dipulangkan ke habitatnya. Ketika diselamatkan, luka di kakinya cukup parah. Ada fraktur terbuka yang sudah terinfeksi dan bernanah,” katanya.
“Luka pada bagian kaki kanannya juga cukup dalam sampai menembus ke otot dan tulang. Untungnya, berkat kerja keras semua tim, saat ini lukanya sudah pulih dan siap dipulangkan ke Tanagupa,” lanjut Fina.
Dia menjelaskan, pemulihan ini tidak hanya fokus pada fisik, tetapi juga dengan psikisnya. Merawat Marisa dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa.
“Kami berupaya mengurangi stresnya dengan meminimalkan kontak langsung dengan Marisa,” tambah Fina.
Guna mencegah konflik serupa terjadi lagi, orang utan ini dilepaskan di kawasan yang jauh dari pemukiman dan kebun masyarakat. Tanagupa dipilih menjadi tempat pelepasan, karena berdasarkan titik lokasi penyelamatannya, Marisa diperkirakan berasal dari wilayah sekitar perbatasan Tanagupa.
Selain itu, Resort Daung Sandar juga dinilai cukup bagus, karena berdasarkan hasil survei yang dilakukan Balai Tanagupa dan YIARI, jumlah dan jenis pakan masih cukup tinggi. Status kawasan sebagai Taman Nasional juga lebih menjamin keselamatan Marisa di masa depan.
Lokasi ini dikelilingi sungai yang bisa menjadi barrier alami untuk mencegah orang utan kembali ke kebun masyarakat.
Setelah menempuh perjalanan selama 6 jam dari pusat rehabilitasi orang utan YIARI, tim berhasil sampai di titik pelepasan. Marisa pun dilepaskan di dalam kawasan Tanagupa.
Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari dukungan masyarakat yang turut serta membantu membawa orang utan ke dalam kawasan taman nasional.
Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul menyampaikan apresiasinya terhadap kolaborasi yang terjalin antara pemerintah, Non-profit Organization (NGO), dan masyarakat dalam upaya pelestarian orang utan dan habitatnya. Silverius menekankan pentingnya peran bersama dalam menjaga keberlanjutan ini.
“Kami mengundang seluruh pemangku kepentingan, khususnya masyarakat, untuk menjadi garda terdepan dalam upaya konservasi satwa liar, terutama orangutan dan habitatnya,” ajaknya.
Menurut dia, penemuan orang utan di area kebun warga menjadi pengingat pentingnya memperkuat kerja sama, terutama dengan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan habitat orang utan.
“Jika masyarakat yang tinggal di perbatasan habitat orang utan dapat hidup harmonis berdampingan, orang utan dapat terjaga keberlanjutannya dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang,” tuturnya.
Hal demikian, selaras dengan visi YIARI untuk menciptakan dunia, di mana manusia dan satwa hidup berdampingan dalam ekosistem yang sehat.
“Ini juga mendukung arahan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, dalam sambutannya di upacara serah terima jabatan menteri kehutanan yang menekankan agar semua memiliki spirit bagaimana menjaga keseimbangan hidup dengan alam,” tukasnya.
Kepala Balai Tanagupa, Himawan Sasongko mengatakan, pelepasliaran anak orang utan ini adalah bentuk harapan baru setelah kehilangan induknya akibat konflik dengan manusia.
“Kami berkomitmen untuk memastikan ia dapat hidup mandiri di habitat alaminya. Dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menggantikan peran induk orang utan dengan menjamin pulihnya kesehatan fisik dan psikis, serta perilaku di pusat rehabilitasi dan kemudian memberikan tempat hidup yang bisa menjamin kelangsungan hidupnya,” ungkapnya.
Namun, yang perlu diingat adalah seberapapun hebat dan majunya pengetahuan, tidak akan pernah bisa menggantikan kasih sayang induknya di alam.
“Melalui upaya pelepasliaran ini, kami berharap anak orang utan dapat menemukan kembali kehidupan baru di habitat alaminya, serta menjadi simbol pentingnya harmoni antara manusia dan satwa liar,” tutup Himawan. (lim)
Discussion about this post