– Dengan melibatkan mayoritas pekebun kelapa sawit, khususnya refresentatif kelompok, asosiasi atau koperasi, kolaborasi Solidaridad dan Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) melakukan analisa Implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil di Kabupaten Sintang.
Analisa Implementasi ISPO dilakukan melalui kegiatan Forum Group Discussion (FGD) dan workshop yang sudah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu tanggal 1, 10, dan 16 Desember 2021.
“Secara umum, kita dukung implementasi ISPO agar lebih baik demi Sintang Lestari, dimana Kelapa Sawit ditanam dan lingkungan juga harus lestari,” kata Sekretaris Jenderal FKMS, Ade Muhammad Iswadi.
Dia menjelaskan analisa yang dilakukan karena melihat implementasi ISPO di Indonesia, khususnya di Kabupaten Sintang, sepertinya masih menemui kendala, sehingga perlu dicarikan akar permasalahannya.
“Kita mencoba melakukan assessment awal dengan metode SWOT, untuk melihat sejauh mana implementasi ISPO di Kabupaten Sintang dilakukan. Kita melibatkan suara mayoritas dari pelaku kelapa sawit melalui form isian yang dibuat sebagai tools untuk melakukan analisa awal,” kata Ami, sapaan akrab mantan Ketua KPU Sintang ini.
Melalui workshop, lanjut Ami, pihaknya mengajukan beberapa pertanyaan menyangkut ISPO dalam form isian yang jadi bahan analisa. Dari data terkumpul dan tanggapan ahli/narasumber dapat ditarik beberapa kesimpulan yang akan menjadi bahan dialog advokasi dengan Kementerian terkait guna memberikan masukan dalam perbaikan ketentuan ISPO.
Melalui metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats), kata Ami, sementara ini pihaknya melihat ada kekuatan yang menjadi modal yaitu adanya regulasi dan kebijakan, meningkatnya kesadaran petani untuk SPO, ada rencana aksi daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD-KSB) Sintang, Tim Pelaksana Daerah Sintang, dan adanya tim koordinasi pengendalian dan pengawasan pembangunan daerah (TP3D).
Namun dalam implementasi ISPO di Sintang masih banyak juga kelemahannya, seperti pembiayaan sertifikasi mahal, minimnya SDM terkait ISPO, belum munculnya nilai dengan adanya ISPO (harga premium, dll) sehingga selalu dipertanyakan petani, proses mengurus ISPO membutuh waktu panjang, sosialisasi belum massif ke level petani, pendataan petani dan pemetaan kebun belum banyak, tata niaga belum berjalan baik, legalitas tanah dan kebun masih lemah, serta produktivitas masih rendah.
“Namun kita masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan dengan adanya dukungan dari Lembaga Mitra (NGOs/CSOs) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mendorong percepatan sertifikasi ISPO,” kata Ami panjang lebar membacakan kesimpulan analisa sembari mengatakan tantangan yang dominan dirasakan adalah persaolan besarnya dana yang dibutuhkan dalam mengurus serfitikasi ISPO.
Ami juga menilai dengan terbentuknya ISPO oleh pemerintah tahun 2009 sudah ada beberapa kali perubahan peraturan karena target tidak tercapai. Saat pembentukkan dikatakan pemerintah mewajibkan seluruh pemilik perkebunan wajib bersertifikat ISPO hingga tahun 2015 dan ada larangan eskpor produk minyak sawit mentah (CPO) jika tidak mengantongi sertifikat ISPO mulai trahun 2014.
“Walaupun diwajibkan dan ditargetkan 100 persen ISPO, namun hanya 40 perusahaan yang memegang sertifikat ISPO pada medio April 2014 dari total 1500 perusahaan,” ungkap Ami.
Dia juga mengatakan regulasi dikeluarkan beberapa kali tampak ada perbaikan, namun perlu juga ada ketegasan dalam pelaksanaannya apalagi ini pelestarian lingkungan yang tak bisa ditunda-tunda. Sebagaimana Pemerntan 11/Permen/01.140/3/2015 pasal 2 ayat (3) menyebutkan penerapan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelannjutan (ISPO) secara sukarela dilakukan terhadap usaha kebun plasma dan usaha kebun swadaya.
Kemudian Pementan Nomor 38 tahun 2020 pasal 62 ayat (1) disebutkan ketentuan mengenai sertifikasi ISPO wajib bagi pekebun mulai berlaku lima tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
“Ini berarti kita memiliki waktu sekitar 3-4 tahun untuk memberikan penyadartahuan terkait kewajiban ISPO,” kata Ami sembari mengungkapkan mendapatkan info data di Kalbar ada sekitar 300-an perusahaan hanya 45 saja hingga 2021 ini yang bersertifikat ISPO.
Aktivis Sintang ini juga beranggapan pentingnya implementasi ISPO karena pekebun atau pengusaha Kelapa Sawit diwajibkan untuk memperhatikan kelestarian lingkungan dalam pengelolaannya.
“Kita berharap ada keseriusan pemerintah dan tentunya semua pihak untuk memaksimalkan implementasi ISPO di Kabupaten Sintang agar kebun kelapa sawit dan kawasan sekitar tetap terjaga kelestariannya,” kata dia menutup pembicaraan. (*/ndi)
Discussion about this post