JURNALIS.co.id – Kota Pontianak menjadi daerah tertinggi kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kalimantan Barat sepanjang tahun 2022. Disusul Kabupaten Sambas dan Kubu Raya.
“Untuk wilayah kasus kekerasan seksual terhadap anak itu Kota Pontianak 63, Kabupaten Sambas 17 dan Kubu Raya 12,” terang Divisi Pelayanan Pengaduan/ Mediasi dan Pemantauan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar, Tumbur Manalu, kepada JURNALIS.co.id di ruangannya, Jalan Daeng Abdul Hadi, Kota Pontianak, Rabu (04/01/2023) siang.
Diakui Tumbur, saat ini pihaknya mengalami kendala dalam pendampingan terhadap anak ketika turun ke beberapa wilayah, terutama Kabupaten Sambas. Pasalnya, di Sambas belum ada KPPAD.
“Kami dari provinsi turun langsung, dikarenakan dinas terkait masih menunggu (KPPAD Kalbar, red), artinya masyarakat masih mempercayai kami, apalagi kalau ada kasus yang terhambat lebih melapor ke kita,” ujarnya.
Tumbur mengatakan KPPAD Kalbar juga menjalin koordinasi bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P3A) turun ke lapangan untuk bersosialisasi.
“Tidak semua kasus kita turun ke lapangan, cuman ada beberapa kasus yang viral memang kita turun bersama,” ucapnya.
Dijelaskannya, memang ada perbedaan dalam menangani kasus dari KPPAD maupun lembaga terkait. Tumbur menyampaikan bahwa KPPAD bersifat independen. Tidak perlu menunggu perintah atasan untuk mengambil tindak dalam upaya penanganan kasus-kasus terhadap anak.
Dirinya juga memberi apresiasi kepada Pemerintah Kota Singkawang dimana sangat tanggap dalam kasus-kasus yang melibatkan anak dan langsung melaporkan kepada KPPAD Kalbar.
“Mereka bilang ke kami, lebih enak berkomunikasi ke KPPAD Kalbar dari pada ke yang lain, itu yang mereka sampaikan terlepas menjelekan yang lain,” sebutnya.
Di lain sisi, Tumbur menyampaikan ada beberapa kendala KPPAD Kalbar dalam pendampingan terhadap korban anak. Yaitu, tempat khusus rehabilitasi yang tidak ada.
“Sebenarnya harus ada tempat khusus rehabilitasi untuk anak supaya pendamping lebih intensif, kecenderungannya sekarang kita melakukan pendampingan secara terpisah-pisah, semacam pemeriksa kesehatan dan pendampingan psikolog itu baru kita bawa sambil menunggu hasilnya keluar,” tuturnya.
Untuk masa waktu pendampingan terhadap korban anak, Tumbur menuturkan tergantung dari segi trauma yang dialami. Merujuk peraturan yang sudah ada, terdapat beberapa tahapan-tahapan yang harus dilakukan sampai korban merasa sudah pulih.
“Sehingga situasi utama korban sudah bisa kembali kepada keluarga, kalau masih takut kita masih lakukan pendampingan psikolog dan kesehatan, biasanya selama tiga bulan,” tutup Tumbur Manalu. (atoy)
Discussion about this post