JURNALIS.co.id – Eksekusi terhadap terpidana pengunaan dokumen palsu (surat tanah) oleh jaksa eksekutor Kejari Pontianak dinilai bertentangan dengan hukum.
Bayu Sukmadiansyah selaku kuasa hukum terpidana Salim Achmad mengatakan eksekusi yang dilakukan kejaksaan atas putusan Kasasi nomor 1491 K/Pid/2022, bahwa dalam diktum putusan di atas, Majelis Hakim Agung telah melakukan kekhilafan dan atau kesalahan karena tidak mencantumkan norma sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam putusan pemidanaan harus dicantumkan di antaranya perintah supaya terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Bayu menerangkan dengan tidak disertai perintah Terdakwa untuk ditahan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 197 KUHAP ayat 1 huruf “k” yaitu perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Maka menurut ketentuan ayat 2 pasal tersebut putusan demikian adalah batal demi hukum.
Bayu menjelaskan, norma pasal 197 ayat 1 KUHAP adalah bersifat perintah dan bersifat memaksa yang harus dicantumkan pada semua putusan pengadilan dari segala tingkatannya, baik pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sebagai judex factie serta judex juris dengan putusan Mahkamah Agung yang hanya bersifat sebagai judex juris.
“Jaksa adalah eksekutor atau pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, oleh karena itu kami tim Penasehat Hukum juga menjalankan amanah undang undang,” tegas Bayu, Rabu (11/10/2023).
Bayu menyatakan penerapan hukum yang dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum harus selaras dengan aturan yang mengaturnya seperti halnya pencantuman putusan pemidanaan yang tanpa disertai kata ditahan atau tetap dalam tahanan sebagaimana dalam Pasal 197 ayat 1 huruf k haruslah ditafsirkan sebagai perintah dari hakim kepada jaksa untuk mengeksekusi diktum putusan pemidanaan.
“Karena tanpa ada perintah hakim untuk mengeksekusi putusan pemidanaan, maka jaksa tidaklah mempunyai dasar hukum apapun untuk mengeksekusi putusan tersebut,” tegas Bayu.
Bahwa berdasarkan asas persamaan dihadapan hukum, lanjut Bayu, menegaskan setiap warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan hukum dengan tidak ada pengecualiannya.
Bayu menyatakan, pihaknya telah memohon ke Kejaksaan Negeri Pontianak untuk menerapkan asas tersebut diatas terhadap kliennya seperti perkara tindak pidana korupsi Jasindo dimana Terpidana diberi kesempatan untuk melakukan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) tanpa dilaksanakan eksekusi akan tetapi permohonan itu ditolak dengan di eksekusinya Salim Achmad pada Senin 9 Oktober kemarin.
“Pertanyaan besar kami adalah siapa orang yang paling diuntungkan dengan tereksekusinya klien kami? Dimana terpidana kasus korupsi yang belum dieksekusi masih berkeliaran bebas semestinya jadi prioritas tim Kejaksaan Negeri Pontianak,” ucap Bayu.
Bayu menerangkan, seperti yang telah ketahui bahwa kliennya adalah korban dari mafia hukum dan mafia tanah. Klien kami pada tahun 2019 dilaporkan ke Mabes Polri atas laporan tersebut perkaranya dibuat sedemikian rupa oleh mantan Kadiv Propam Mabes Polri, Sambo dan kawan-kawannya.
“Desember 2022 Klien kami bebas demi hukum karena surat Voorpost dari Ketua Mahkamah Agung, yang memerintahkan Pengadilan Tinggi Pontianak untuk memeriksa kembali pengaduan klien kami. Dan klien kami umurnya 72 tahun saat ini dalam kondisi sakit (rawat jalan) masih tetap dipaksa untuk melaksanakan eksekusi,” pungkas Bayu. (hyd)
Discussion about this post