
JURNALIS.co.id – Konflik antara masyarakat Desa Bika dan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Borneo International Anugerah (BIA) memasuki babak baru.
Selain memblokir akses jalan menuju area perkebunan, warga kini juga menyita sejumlah alat berat yang diduga milik perusahaan.
Situasi ini menjadi sorotan Bupati Kapuas Hulu, Fransiskus Diaan, yang meminta penyelesaian dilakukan melalui jalur dialog.
Menurut Bupati, pemerintah daerah melalui Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) Kapuas Hulu sebenarnya telah berupaya mempertemukan kedua belah pihak untuk mencari solusi.
“Kita sebelumnya melalui Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) Kapuas Hulu sudah memfasilitasi pertemuannya antara perusahaan dan masyarakat. Kita cari jalan tengahlah, masyarakat tidak dirugikan dan perusahaan pun diuntungkan. Tapi hingga hari ini belum ada titik temunya,” kata Bupati usai menghadiri pengukuhan anggota BPD se-Kapuas Hulu di Indoor Putussibau, Rabu (10/12).
Ia menegaskan pemerintah daerah tetap berkomitmen menampung aspirasi masyarakat, sepanjang tuntutan tersebut masih dapat dipertimbangkan secara rasional oleh perusahaan.
“Namun dalam hal ini tentunya tidak memberatkan pihak perusahaan juga. Jadi tuntutan masyarakat itu harus yang masuk akal saja,” ujarnya.
Fransiskus Diaan memastikan bahwa lahan yang dipersoalkan masyarakat bukanlah lahan adat, melainkan sudah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) sejak 2012.
“Jadi barang ini sudah berproses sudah sangat lama karena memang dari pihak perusahaan mungkin agak lambat juga melakukan kegiatan dilapangan karena saya yakin mereka sudah melakukan sosialisasi pada saat itu sebelum HGU terbit,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa sosialisasi keberadaan perusahaan kemungkinan telah dilakukan sejak 2012, tetapi pergantian tokoh masyarakat dan aparatur desa membuat sebagian warga tidak lagi mengingat proses tersebut.
Bupati juga mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan penyanderaan atau penyitaan alat operasional perusahaan.
“Karena adanya pekerjaan disana itu juga alat-alat yang bekerja itu bukan juga milik perusahaan, tapi milik pelaksana yang lain.”
Tindakan penyitaan tersebut, lanjutnya, dapat ber konsekuensi hukum.
“Masyarakat melakukan penyanderaan atau penyitaan alat itu sudah masuk dalam ranah pidana karena melakukan hal tersebut tanpa koordinasi dan sebagainya. Karena mereka sudah menghambat pekerjaan orang,” ujarnya.
Ia berharap kedua pihak bersedia kembali duduk bersama mencari solusi terbaik.
“Saya yakin pasti ada jalan keluarnya,” ucap Bupati.
Sebelumnya pada Minggu (7/2), masyarakat Desa Bika menutup akses jalan menuju area perkebunan PT BIA dan menyita dua alat berat.
Aksi ini merupakan puncak kekecewaan warga karena tuntutan mereka tak dipenuhi meski telah beberapa kali dimediasi TP3K.
“Sepanjang tuntutan kami masyarakat Bika belum terpenuhi dan sesuai intruksi Pj Sekretaris Daerah bahwa PT BIA tidak boleh beroperasi maka kami wajib melakukan pemblokiran terhadap perusahaan yang ada di wilayah kami,” kata Antonius, perwakilan masyarakat Desa Bika.
Permasalahan ini bermula dari dugaan bahwa PT BIA menggarap lahan adat seluas 606 hektare.
Warga menuntut ganti rugi sebesar Rp8 juta per hektare, atau total Rp4,8 miliar. Namun perusahaan hanya mampu menawarkan tali asih senilai Rp1,17 miliar dalam beberapa kali mediasi.
(Opik)



















Discussion about this post