JURNALIS.co.id – Tiga orang anak perempuan dan seorang wanita dewasa asal Sulawesi Selatan menjadi korban perdagangan orang.
Ketiga anak tersebut dikirim oleh seseorang ke Malaysia lalu dipekerjakan di tempat pijit plus-plus.
Kepala Balai Pelayanan, Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Pontianak, Fadzar Allimin mengatakan pihaknya mendapat informasi dari KJRI Kuching tentang rencana deportasi empat orang PMI Non Prosedural dari Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kabupaten Sanggau.
Fadzar menuturkan, dari informasi itu pihaknya kemudian memfasilitasi pemulangan PMI Non Prosedural tersebut.
Saat dilakukan pendataan, kata Fadzar, terungkap jika tiga dari empat PMI Non Prosedural tersebut ternyata masih anak-anak.
“Setelah kami dalami, anak-anak ini mengaku dipekerjakan di tempat pijit plus-plus,” katanya, Jumat (10/11/2023).
Fadzar mengungkapkan anak-anak perempuan tersebut dipaksa bekerja melayani hubungan badan oleh pemilik tempat usaha.
“Dari pengakuan anak-anak ini, mereka diberangkatkan oleh seorang wanita berinisial I ketika berada di Makasar. Dijanjikan bekerja sebagai penjaga toko dengan upah besar,” ucapnya.
Fadzar menyatakan, kasus ketiga anak-anak tersebut jelas merupakan tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu, pihaknya sudah berkoordinasi dengan kepolisian untuk mendalami para pelaku yang terlibat.
“Kami juga sudah berkoordinasi dengan BP3MI di Makasar untuk mendalami pelaku yang merekrut anak-anak ini,” terang Fadzar.
Sementara itu, salah satu korban mengaku, awalnya ia berkenalan dengan seorang wanita di media sosial. Wanita tersebut lalu menawarkan pekerjaan ke luar negeri sebagai penjaga toko dengan upah sebesar tiga ribu Ringgit Malaysia.
Kepada wanita tersebut korban mengaku tidak memiliki paspor untuk bekerja. Namun oleh wanita dijanjikan seluruh persyaratan administrasi akan diuruskan.
“Saya lalu diberangkatkan dari Makassar ke Pontianak. Lalu dibawa ke perbatasan. Masuk ke Malaysia melintasi jalan tikus,” kata korban.
Korban mengatakan, setibanya di Malaysia ia bersama tiga orang lainnya langsung dibawa ke tempat pijit plus-plus yang ada di Miri. Di sana ia langsung bertemu dengan pemilik usaha.
Korban menuturkan, pemilik usaha tersebut lalu menjelaskan pekerjaan yang akan dilakukan, yakni melayani hubungan badan terhadap pengunjung tempat pijat.
“Kami menolak pekerjaan itu. Kami lalu dikurung di dalam kamar dan tidak diberi makan selama dua hari,” cerita korban.
Karena tidak kuat dengan tindakan yang dilakukan pemilik usaha, korban dan dua anak-anak lainnya akhirnya menerima pekerjaan tersebut.
“Dalam sehari, kami haru melayani lima sampai tujuh laki-laki. Kadang kami disiksa saat berhubungan. Rambut ditarik, dipukuli,” ungkap korban.
Korban mengaku, selain menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan harapan, selama bekerja mereka juga sama sekali tidak mendapat upah.
“Karena sudah tidak tahan, kami lalu menghubungi polisi Malaysia meminta pertolongan,” kata korban.
Setelah menghubungi polisi, korban dan ketiga orang lainnya langsung mengunci kamar. Dan tidak lama kemudian polisi datang melakukan penggerebekan.
“Kami akhirnya diselamatkan polisi Malaysia. Sementara pemilik usaha dan 20 orang pekerja lainnya dibawa melarikan diri,” tutur korban. (hyd)
Discussion about this post