Atbah RS di Akhir Masa Jabatan Bupati (bagian 2)
Oleh: R. Rido Ibnu Syahrie
NYARIS tidak ada kepala daerah yang memutuskan berhenti bertarung pada periode kedua menghabiskan peluangnya seperti dijamin konstitusi. Usai lima tahun di periode pertama, biasanya berlanjut pada kontestasi untuk memenangkan periode kedua. Kepala daerah seperti ini lazim disebut incumbent alias petahana. Bagaimana dengan Atbah Romin Suhaili?
Seiring perjalanan waktu, figur yang memiliki hasrat bertarung pada Pilkada Sambas 2020 mulai mengerucut dan jumlahnya semakin sedikit. Ditandai dengan ikhtiar figur dalam mendapatkan dukungan partai politik minimal 9 ‘kusi’ perolehan suara di DPRD Sambas. Seperti diketahui total kursi legislatif berjumlah 45 orang pada Pemilu 2019 dengan komposisi Gerindra 7 kursi, PDIP 6 kursi, Golkar 6 kursi dan Nasdem 5 kursi.
Sedangkan PKS, PAN dan PKB meraih perolehan masing-masing 4 kursi, Hanura dan Demokrat masing-masing 3 kursi, sisanya PPP 2 kursi dan 1 kursi Perindo. Jika terbagi merata memang memungkinkan 5 pasangan calon. Sedangkan petahana yang merupakan kader PKS sudah memiliki ‘perahu politik’ sebanyak 4 kursi, atau masih kurang 5 kursi untuk mendapatkan dukungan minimal. Hanya saja Atbah belum menentukan pasangannya.
Pasangan figur bakal calon lain yang serius adalah Satono – Rofi melakukan klaim fantastis sudah mendapatkan rekomendasi dari empat parpol dengan jumlah 18 kursi meliputi Gerindra (7), PAN (4), Demokrat (3) dan PKB (4). Tentu saja klaim bukan berarti sudah final, meski terdapat cerita unik bagaimana bisa PKB dengan kadernya anggota DPRD Provinsi Kalbar, Juliarti harus kandas mendorong adiknya, Hero.
Sementara itu, poros PDI Perjuangan pemilik 6 kursi yang mendorong Darso harus rela menjadi pendamping pendatang baru non partisan, Helman Fachry yang didaulat oleh parpol pemilik 5 kursi yakni Nasdem. Khusus Golkar terlihat santai dengan mengusung figur mantan senator, Rubaety Erlita Prabasa belum menentukan akan berkoalisi dengan parpol mana. Tersisa Hanura, Perindo dan PPP dengan kadernya, Hairiah yang masih menjabat sebagai wakil bupati pendamping Atbah di periode 2016-2021.
Terkait arah dukungan parpol itu, Atbah menganggap masih berproses dan belum tuntas. Karena bicara politik sebenarnya cair sekali dan tidak bisa asal klaim, tak bisa mengaku-ngaku. Bisa-bisa surat keputusan dukungan yang sudah keluar itu, dalam minggu depannya keluar lagi untuk figur yang lain. “Bagamanapun, parpol ingin menang sebagai partai, bukan ingin calonnya menang. Bagi PKS masih terbuka berkoalisi dengan parpol manapun karena negeri ini dibangun dengan kebersamaan,” kata dia.
Mengenai koalisi ideal, lanjut dia, pasti dipengaruhi oleh pergerakan arah politik dan banyak variabel. Bisa saja karena kedekatan ideologi dan ‘warna’, dan faktor lobi-lobi. “Banyak faktor. Tapi saya lebih melihat akhirnya ada hal yang tidak bisa kita ungkap, maklumlah ini politik,” ujar Atbah seraya mengatakan belum memastikan apakah akan kembali berpasangan dengan Hairiah atau tidak.
Namun dari pernyataannya tersirat kemungkinan akan mencari pasangan baru sebagai bakal calon wakilnya nanti. Apakah ini terkait dengan isu keretakan atau pecah kongsi akibat beredarnya opini tentang ‘didzalimi’? “Karena ini politik, maka istilah didzalimi itu terkandung muatan politik. Makanya saya nggak ngefek yang gitu-gitu. Politik itu cenderung politiking, jadi biasa-biasa saja. Main-main saja. Oleh karena itu realitas kita sebagai pribadi tidak punya persoalan dengan siapapun karena saya paham betul,” ujar Atbah.
Lantas Atbah pun menguraikan pengalaman hidupnya selama di luar negeri dan berinteraksi dengan berbagai pihak diberbagai daerah dan dengan beragam orang. Pengalaman itu diakui Atbah telah membuat dirinya bukan seperti dalam tempurung. “Kita bukan orang yang memulai lagi, tapi terus menata apa yang sudah ada pada diri kita dengan pendewasaan. Kalau bahasa politiknya mendzalimi, itu bisa saja,” kata Atbah.
Antara kepala daerah dan wakil kepala daerah memang banyak yang tidak harmonis. Biasanya hanya harmonis beberapa tahun saja. Selebihnya terlibat konflik dan justru menjadi lawan politik pada perhelatan Pilkada berikutnya. Terhadap hal ini, Atbah begitu tegas menjelaskan bahwa ketidakharmonisan itu dipicu apabila tidak mengerti jabatan masing-masing. “Jabatan itu berarti harus mengerti dengan posisi masing-masing. Apa tugas bupati dan apa tugas wakil bupati. Jadi, siaaap grak pada posisinya. Sederhana,” papar Atbah.
Cuma, kata dia, karena berpolitik ya begitu jadinya. Namun tidak akan berdampak kepadanyakarena dirinya sudah mempunyai sikap. Makanya opini di media sosial kemanapun arahnya tidak ada pengaruhnya. “Saya yang justru memberikan point, mengalihkan cara berpikir orang, mengalihkan situasi, membalik. Pokoknya saya tidak pernah terpengaruh dengan apa yang mereka pikirkan. Tetapi saya ingin mereka berpikir yang lain dengan cara-cara kita sehingga berpikir melompat dari situasi yang satu ke situasi yang lain,” papar alumni Islamic University of Madinah Almunawarroh (IUM) Saudi Arabia ini.
Ia mengaku aneh ketika dirinya seolah-olah dikatakan telah mendzalimi. “Kalau seperti kita saja dibegitukan, apalagi kepada orang lain. Artinya bukan hanya sekadar makian dan cacian tanpa fakta. Kalau ini kan cuma menuduh berarti dituduh tapi faktanya tidak ada,” kata Atbah seraya mencontohkan, dihina tapi tidak hina karena tidak ada fakta atas hinaan itu. Dicerca, ya.. cuman dicerca tapi tidak ada fakta.
“Saya senang yang gitu-gitu. Masalah itu kan sederhana, yang menjadikan tidak sederhana karena orang berkutat di masalah. Coba kita berkutat di solusi, pahami persoalannya dan bisa selesai,” katanya.
Sekali lagi, ujar dia, dirinya tidak mempunyai persoalan dengan siapapun. Hanya saja tidak senang begitu karena namanya memelihara dosa akibat ada konflik yang dipelihara. “Saya tidak punya kecenderungan ke arah itu. Kita perlu teman, ada teman baik, teman setengah setengan dan lainnya. Jadi hubungannya pertemanan, sahabat dan kawan,” kata Atbah.
Bupati yang memiliki latarbelakang pendidikan pondok pesantren ini juga menjelaskan tentang pola komunikasi dirinya dengan Gubernur Kalbar, Sutarmidji yang dianggap bersinggungan terutama menyangkut penanganan Covid-19. “Saya tidak pernah terpengaruh. Gubernur sudah jelas tugasnya. Ketika dia begitu (marah), maka menurut saya bukan selaku gubernur tetapi pribadi. Saya pikir kalau kita mau jadi pemimpin tdak perlu melayani hal-hal semacam itu. Insya Allah niat beliau baik, dan saya bilang siap,” kata Atbah. (bersambung)
Discussion about this post