JURNALIS.co.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) menolak rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan meminta pemerintah mencabut rencana tersebut masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Kalbar Tahun 2025-2045.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Divisi Kajian, Dokumentasi, dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, saat dimintai tanggapannya usai Pemprov Kalbar menggelar Forum Konsultasi Publik RPJPD Provinsi Kalbar Tahun 2025-2045, yang digelar di Q Hall Hotel Qubu Resort Kubu Raya, pada Rabu 15 November 2023.
Menurut Adam, tentunya dokumen RPJPD ini penting sebagai panduan bagi perencanaan pembangunan dalam berbagai aspeknya bagi Kalimantan Barat.
“Namun, sejauh mana isinya benar-benar mengakomodir kepentingan rakyat dan lingkungan hidup utamanya, tentu masih perlu dibenahi,” ujar Adam.
Adam menyebutkan, salah satu arah kebijakan pemerintah daerah yang dirumuskan yakni pengembangan sumber energi baru dan terbarukan. Tentu perlu dijabarkan, konteks energi baru yang dimaksud tersebut.
“Sebab bila pengembangan energi baru yang dimaksud adalah dengan mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), maka dengan tegas kami menyatakan menolak rencana tersebut dan meminta membatalkannya dalam RPJPD Kalbar,” tegasnya.
Sebab, seharusnya bukan justeru mendorong energi baru dalam hal ini PLTN, tetapi sebaiknya potensi energi terbarukan yang memang belum teroptimalkan di Kalbar selama ini perlu intervensi pemerintah memastikan penggunaannya.
“Pemilihan energi baru PLTN justru kian menegaskan bahwa memang selama ini belum ada yang menggembirakan dari upaya optimalisasi penggunaan energi terbarukan,” kata Adam.
Lebih lanjut Adam menyatakan, berkaca dari RPJPD Kalbar 2005-2025, alokasi peruntukan lahan untuk perkebunan monokultur dengan luasan target 1,5 juta hektare, sementara saat ini luasan konsesi untuk komoditas ini malah berlibat-lipat luasnya. Demikian juga agenda berkaitan kedaulatan pangan dengan proyek kebun pangan (food estate) yang sebagian besar malah gagal.
“Bahkan boro-boro, surplus bahan pangan, justru produk impor membanjiri pasaran di Kalbar,” ungkapnya.
Belum lagi soal kebijakan berkenaan dengan kawasan hutan yang memasuki wilayah hidup dan permukiman warga telah menjadi sumber masalah serius sekitar isu kehutanan di Kalbar selama ini berikut potensi bencana ekologis yang semakin menjadi dari waktu ke waktu. ***
(Ndi)
Discussion about this post