
JURNALIS.co.id – Antrean panjang tampak ramai di SPBU yang terletak di kawasan jalan Imam Bonjol Pontianak Selatan, Kota Pontianak, pada Sabtu 1 Februari 2025. Antrean tersebut bahkan hampir menyentuh badan jalan. Pemandangan tersebut bukan antrean bahan bakar minyak, tetapi antrean gas 3 kg. Hal ini terjadi pada setiap gas 3 kg tiba di SPBU tersebut.
Selain warga setempat, pengepul atau penjual eceran (pengecer) gas 3 kg juga tampak antre. Selain di SPBU, mereka ini biasanya antre di pangkalan yang berada di kawasan jalan A, jalan B dan jalan C (disamarkan).
Untuk pembelian gas 3 kg di SPBU sistem penjualannya cukup adil atau memenuhi standar yang disyaratkan oleh Pertamina dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), seperti warga setempat atau usaha kecil, contohnya penjual gorengan.

Dengan pembelian satu orang satu kalau gasnya datang sedikit, atau satu orang bisa dapat dua kalau gasnya datang banyak. Harganya sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur, 18.500 per tabung. Disini pengecer tidak bisa berkutik, karena tidak bisa beli banyak.
Beda halnya dengan pangkalan yang berada di kawasan jalan A, jalan B dan jalan C. Disini para pengecer agak “leluasa” membeli dengan jumlah yang banyak, ini tergantung “kedekatan” pengecer dengan pengelola pangkalan.
Pengecer dengan ciri-ciri membawa keranjang di motornya ini bisa dapat enam hingga delapan tabung gas bersubsidi tersebut, bahkan bisa lebih. Dengan harga 19.000 per tabung. Namun mereka bisa menjual kembali seharga 22.000-25.000 per tabung. Jauh lebih mahal dari harga yang dijual di SPBU atau pangkalan resmi. Aktivitas ini sudah berlangsung cukup lama. Jelas ini merugikan masyarakat yang kurang mampu dan pelaku usaha kecil, karena subsidinya tidak tepat sasaran.
Ada lagi pangkalan “nakal” yang bahkan mengantar langsung ke toko (pengecer) dengan harga “khusus” diatas harga di pangkalan. Misalnya pangkalan tersebut mendapat jatah 100 tabung dari agen atau distributor, 50 dijual ke warga, sedangkan 50 nya lagi diantar langsung ke pengecer-pengecer. Sehingga di toko tersebut pastinya menjual dengan harga yang jauh di atas pangkalan.
Selain itu, ada pangkalan “nakal” yang misalnya juga mendapatkan jatah 100 tabung, 50 tabung dijualnya di pangkalan dan 50 tabung lagi dijual di toko lain milik si pangkalan itu sendiri dengan harga diatas harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Ada juga “temuan” seorang oknum Ketua RT yang menurut pengakuan seorang pengelola pangkalan C mengatasnamakan warga tertentu mendapatkan jatah khusus untuk dijual ke warganya, tetapi faktanya warganya sendiri mengeluhkan sulitnya mendapatkan gas 3 kg dari si Ketua RT, karena diduga gas 3 kg tersebut dijual ke rumah makan atau konsumen lain dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga di pangkalan.
Dengan kondisi seperti ini, tentunya distribusi gas 3 kg tidak akan pernah cukup dan tentunya tidak akan pernah tepat sasaran, sehingga Pertamina sebagai pemilik barang dan Kementerian ESDM yang mengeluarkan kebijakan quota distribusi sudah seharusnya melakukan pengawasan yang lebih ketat lagi terhadap pangkalan-pangkalan yang nakal tersebut, termasuk para agen atau distributor yang menjadi kepanjangan tangan dari Pertamina ikut mengawasi pangkalan, supaya pangkalan tidak ikut “bermain”, agar subsidi gas 3 kg tepat sasaran. ***
(Disarikan dari keluhan masyarakat)
Discussion about this post