
– KPPAD Kalbar mendesak aparat penegak hukum memberikan hukuman tambahan kepada para pelaku predator anak. Desakan tersebut disampaikan Komisioner KPPAD Kalbar Divisi Data dan Informasi Alik R Rosyad didampingi Wakil Ketua KPPAD Kalbar Sulastri saat mendampingi persidangan kekerasan pelecehan seksual terhadap anak di Pengadilan Negeri Sanggau, Kamis (07/01/2021) siang.
“Kehadiran kami hari ini di Pengadilan Negeri Sanggau terkait pendampingan kasus dengan terdakwa MA yang disangkakan melakukan tindakan kejahatan seksual terhadap anak tiri dan keponakannya. Hal ini dilakukan sebanyak dua kali kepada anak tirinya dan satu kali kepada keponakannya,” kata Alik.
Disampaikannya, fakta-fakta di persidangan sudah disampaikan saksi korban dan alat bukti yang lain. Walaupun memang terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Namun, tentu nanti majelis hakim akan mempertimbangkannya sambil mendengarkan keterangan saksi-saksi yang lain.
“Nah, Terkait Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa sangkaan terhadap pelaku kejahatan seksual adalah minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara,” katanya.
Namun, apabila dilakukan orang tua kandung, tenaga pendidik dan tenaga pengasuh, maka ancaman hukumannya bisa ditambah sepertiga menjadi maksimal 20 tahun penjara. Pihaknya berharap Jaksa Penuntut Umum (JPU) bisa melakukan penuntutan maksimal.
“Tentu bisa diikuti dengan putusan hakim terhadap pelaku kejahatan ini, karena jelas di situ dilakukan terhadap anak tiri dan keponakannya. Walaupun kami juga sanggat menghormati bahwa itu menjadi kewenangan dari proses persidangan,” ujarnya.
Alik menambahkan di akhir tahun 2020, Presiden RI telah menandatangani PP Nomor 70 Tahun 2020 mengenai sanksi tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual anak. Yaitu tindakan kebiri kimia, pemberian identitas ataupun alat pendeteksi, rehabilitasi serta publikasi terhadap pelaku kejahatan ini.
“Terkait PP ini kami mendorong Kejaksaan Negeri Sanggau juga bisa memberlakukan sanksi tambahan terhadap terdakwa MA ini, karena telah memenuhi salah satu syarat untuk dilakukan kebiri kimia karena dilakukan lebih dari satu kali dan korbannya lebih dari satu orang,” tuturnya.
“Apabila PP Nomor 70 Tahun 2020 ini dilakukan di Pengadilan Negeri Sanggau dan oleh Kejaksaan Negeri Sanggau tentu akan menjadi contoh ataupun menjadi roll model untuk daerah-daerah lain, sehingga menjadi warning untuk calon-calon predator maupun pelaku kejahatan seksual terhadap anak,” tambah Alik.
Senada, Kasi Pemenuhan Hak Atas Anak Dinsos P3AKB Sanggau, Pratiningsih, juga mendesak pelaku kejahatan terhadap anak diberikan hukuman maksimal. Apalagi, kata dia, kasus kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
“Tahun 2020, ada sebanyak 43 kasus yang didominasi kejahatan seksual, sisanya beragam. Tapi ini jangan dilihat angkanya. Dulu, mungkin orang belum berani melapor karena takut, malu dan lain sebagainya, dan sekarang orang sudah ada yang berani bersuara. Makanya tadi saya bilang, bisa lebih dari 43 kasus karena itu yang kita ketahui,” ungkap Pratiningsih.
Sementara itu, Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) Kabupaten Sanggau, Abdul Rahim SH juga mendorong aparat penegak hukum memberikan hukuam maksimal kepada pelaku kejahatan terhadap anak. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana tindakan selanjutnya dari pemerintah terhadap korban kejahatan seksual ini.
“Para korban ini harus dipulihkan psikologisnya, diberikan pelayanan yang sama seperti anak-anak yang lain, misalnya sekolahmya harus dijamin, lingkungan juga begitu tidak boleh mengucilkan dia. Nah, apakah ini sudah dipikirkan lemerintah. Harapan saya tentu mereka harus dilundungi, tidak hanya mendampingi proses hukumnya tapi pasca kejahatan ini,” terang Rahim. (faf)
Discussion about this post