
JURNALIS.co.id – Flavianus Fexa berjuang mencari keadilan atas kasus sengketa lahan seluas 20 hektar lebih di Desa Wajok Hulu, Kecamatan Jongkat, Kabupaten Mempawah. Pasalnya, tanah miliknya tersebut telah dirampas tanpa ada uang jual beli.
Bagaimana kasus itu bisa menimpa warga Kelurahan Akcaya, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak ini?
Flavianus Fexa menuturkan bermula pada Oktober 2006 ketika gudang miliknya di KM 10,9, Desa Wajok Hulu, Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah disewa oleh seseorang bernama Chau Phen dengan harga Rp75 juta per tahun.
Masa sewa belum sampai satu tahun, pada Februari 2007, penyewa tertarik untuk membeli sebagian lahan yang berdiri gudang, pabrik dan perumahan karyawan.
“Saat itu, nilai jual yang disepakati sebesar Rp2,2 miliar,” kata Fexa ditemui di salah satu rumah toko di Jalan Setia Budi, Kecamatan Pontianak Selatan, Rabu (13/09/2023).
Fexa menuturkan untuk melangsungkan transaksi jual beli dibuatlah perjanjian awal di kantor notaris dengan harga jual sebesar Rp2,2 miliar. Pada saat itu, pembeli yakni Chau Phen mengetahui jika sertifikat lahan tersebut sedang menjadi anggunan di salah satu bank di Kota Pontianak.
“Dalam perjanjian awal itu disebutkan uang muka sebesar Rp1,6 miliar lebih yang harus dibayar,” tuturnya.
Fexa menceritakan saat pelaksanaan jual beli di hadapan notaris, pembeli membawa koleganya yakni Gunawan Tjandra. Di mana pada akhirnya terungkap jika koleganya tersebut adalah bos dari perusahaan Chau Phen bekerja yang sebenarnya sebagai pembeli tanah.
“Karena memang niatnya ingin membeli, sehingga proses awal jual beli dilanjutkan,” ucapnya.
Setelah proses perjanjian awal dilakukan, kata Fexa, uang muka sebesar Rp1,6 miliar lebih tersebut sampai sekarang tidak pernah dibayarkan.
“Waktu itu saya disuruh menandatangani kuitansi jual beli. Saya tandatangan meski uang belum diserahkan, dengan alasan dari pembeli untuk bukti pencairan uang oleh perusahaan di Jakarta,” ceritanya.
Fexa menuturkan dalam perjalanannya pada tahun 2016, tiba-tiba dirinya digugat oleh Gunawan Tjandra ke Pengadilan Negeri (PN) Pontianak dengan objek perkara wanprestasi. Di mana dalam putusannya majelis hakim mengabulkan permohonan penggugat meski dalam fakta persidangan saksi-saksi dari notaris dan perwakilan bank menerangkan bahwa uang muka pembayaran jual beli itu tidak pernah dibayarkan.
“Terhadap putusan tingkat pertama itu, saya sebagai tergugat mengajukan banding. Dimana Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak memutus membatalkan putusan PN Pontianak. Gunawan Tjandra lalu mengajukan kasasi. Oleh MA diputus dengan menganulir putusan banding dan mengembalikan putusan semula yakni PN Pontianak,” ungkapnya.
Fexa menyatakan terhadap putusan tersebut pada 28 Desember 2022, pihaknya mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA atas perkara wanprestasi tersebut. Dia juga melakukan perlawanan terhadap putusan kasasi MA tersebut dengan membuat laporan dugaan perbuatan tidak terpuji tiga majelis hakim beserta panitera PN Pontianak yang menangani perkara gugatan wanprestasi tersebut ke Badan Pengawasan Hakim di Mahkamah Agung.
“Namun laporan tersebut oleh MA dianggap dugaan perbuatan tidak terpuji ketiga hakim dan panitera yang menangani perkara wanprestasi tersebut tidak terbukti. Sementara pada putusan PK, MA juga menguatkan putusan kasasi,” bebernya.
Tidak terima dengan putusan pengadilan yang memenangkan Gunawan Tjandra, Fexa terus berjuang mencari keadilan dengan menggunakan peluang-peluang hukum di lembaga peradilan. Di mana sebelum putusan kasasi dan PK dijatuhkan, pada Juni 2018, Fexa menggugat Chau Phen (kolega Gunawan Tjandra) ke PN Mempawah dengan objek perkara sewa menyewa lahan. Dalam persidangan tergugat, Chau Phen mengajukan bukti berupa putusan gugatan wanprestasi yang dikeluarkan PN Pontianak.
Fexa mengatakan majelis hakim PN Mempawah saat itu memutus menolak gugatan sewa menyewa tersebut. Putusan tersebut dikuatkan dengan putusan banding PT Pontianak. Namun putusan PN Mempawah dan PT Pontianak tersebut akhirnya digugurkan dengan putusan kasasi.
Majelis hakim MA mengabulkan permohonan dirinya dengan putusan menyatakan bahwa tergugat, Chau Phen terbukti wanprestasi dan menghukum tergugat untuk membayar sewa gudang sebesar Rp1,7 miliar lebih.
“Namun terhadap putusan kasasi yang dikeluarkan pada 10 September 2019 itu, sampai hari belum dilaksanakan eksekusi meski sudah saya mohonkan ke PN Mempawah,” jelasnya.
Fexa menyatakan putusan kasasi atas perkara sewa menyewa tersebut adalah bukti bahwa terhadap putusan perkara wanprestasi yang diajukan Gunawan Tjandra di PN Pontianak terjadi permainan, rekayasa dan pengaburan fakta-fakta persidangan.
Fexa menceritakan setelah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap atas perkara sewa menyewa gudang miliknya itu, pada Januari 2022 dirinya menerima surat teguran dari PN Pontianak yang didelegasikan kepada PN Mempawah agar dirinya sebagai tergugat untuk menyerahkan secara sukarela mengosongkan dan menyerahkan objek perkara yakni lahan seluas 20 hektar lebih di Desa Wajok Hulu, Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah kepada penggugat, Gunawan Tjandra.
Namun, Fexa menambahkan, terhadap surat teguran tersebut dirinya melakukan perlawanan dengan melayangkan surat untuk mempertanyakan legalitas surat teguran yang dikeluarkan PN Pontianak. Karena, permohonan sita eksekusi yang dimohonkan oleh kuasa hukum Gunawan Tjandra dianggap dirinya sudah tidak sah, lantaran kliennya yakni Gunawan Tjandra sudah meninggal sesuai dengan surat kematian yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta pada 2021 yang terungkap dalam sidang di PN Mempawah.
“Pemohon eksekusi sudah meninggal pada 2021. Lalu pada 2022 melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan eksekusi. Ini kan jelas aneh dan apa legalitas kuasa hukumnya,” sebut Fexa.
Dia mengungkapkan pada April 2022 ahli waris almarhum Gunawan Tjandra mengajukan konsinyasi (penawaran) ke PN Pontianak agar dirinya menerima uang sebesar Rp1,6 miliar. Namun penawaran tersebut ia tolak. Meski uang tersebut telah disetorkan ahli waris ke PN Pontianak.
“Besaran penawaran tersebut sama persis dengan uang muka yang harusnya dibayarkan mereka sejak awal perjanjian. Tapi saya tolak, karena harusnya niat baik itu dilakukan sejak dulu bukan setelah adanya gugatan,” ujarnya.
Fexa menyatakan dengan adanya pengajuan konsinyasi, itu membuktikan bahwa almarhum Gunawan Tjandra beserta koleganya yakni Chau Phen telah berbohong saat bersaksi di pengadilan dengan mengatakan telah membayar uang muka tersebut. Di mana faktanya uang muka tersebut sampai saat ini memang tidak pernah dibayarkan.
“Jadi jelas saat persidangan Chau Phen telah memberikan keterangan palsu mengatakan uang muka sudah dibayarkan. Jadi jelas ada rekayasa pada putusan perkara wanprestasi yang diajukan almarhum Gunawan Tjandra yang dilakukan oleh majelis hakim dan panitera PN Pontianak saat itu,” tegasnya.
Fexa mengatakan pada 3 Juni 2022 dirinya menerima surat konstatering dari PN Pontianak didelegasikan kepada PN Mempawah untuk melaksanakan pencocokan objek perkara berupa lahan seluas 20 hektar lebih di Desa Wajok Hulu. Terhadap pelaksanaan pencocokan objek perkara tersebut dirinya pun kembali melakukan perlawanan dengan melayangkan surat sanggahan atas pelaksanaan surat pelaksanaan pencocokan objek perkara tersebut.
“Sesuai dengan pasal 183 KUHPerdata, surat kuasa hukum tergugat sudah berakhir karena Gunawan Tjandra sudah meninggal. Sehingga permohonan eksekusi dan rentetannya cacat administrasi,” lugasnya.
Selain itu, lanjut Fexa, dirinya juga mengajukan surat protes kepada PN Mempawah menolak pelaksanaan pencocokan objek perkara. Karena permohonan eksekusi oleh orang yang sudah meninggal tidak dapat dibenarkan oleh hukum.
Fexa mengatakan dirinya terus berjuang melawan ketidakadilan lembaga peradilan atas perkara wanprestasi yang diajukan almarhum Gunawan Tjandra. Dimana pada 27 Mei 2022 ia mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Pontianak terhadap ketiga hakim dan panitera PN Pontianak yang menangani perkara wanprestasi saat itu. Di mana gugatan tersebut saat ini sudah sampai tingkat kasasi di MA.
“Gugatan perlawanan hukum tersebut ditolak. Saya kasasi dan sampai saat ini masih menunggu putusannya,” tukasnya.
Sedang dalam perjuangan mencari keadilan, pada 22 Juni 2023, Fexa menerima surat pemberitahuan sita eksekusi dari PN Pontianak. Di dalam surat itu, sita eksekusi akan dilaksanakan pada Rabu 05 Juli 2023. Terhadap rencana eksekusi tersebut, pada 3 Juli 2023, dirinya mengajukan gugatan bantahan eksekusi ke PN Pontianak. Dimana gugatan tersebut sampai dengan sekarang masih berlangsung.
“Anehnya, ketika proses hukum masih berlangsung, PN Pontianak mengeluarkan surat sita eksekusi kepada PN Mempawah untuk melaksanakan eksekusi objek perkara,” ungkapnya.
Fexa pun terus melakukan perlawanan. Ia tak tinggal diam dengan pelaksanaan eksekusi tersebut. Fexa menggugat surat sita eksekusi yang diterbitkan KPN Pontianak ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak. Namun lagi-lagi perjuangannya kandas. Hakim PTUN Pontianak menolak gugatan tersebut.
Fexa menyatakan terhadap putusan PTUN Pontianak tersebut ia melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perlawanan PTUN Pontianak yang saat ini baru didaftarkannya.
Fexa menjelaskan pada 26 Juni 2023 dirinya juga mengajukan gugatan pembatalan perjanjian awal jual beli (PPJB) ke PN Pontianak. Ia menilai perjanjian awal tersebut sarat dengan kecurangan. Digunakan untuk menipu.
“Untuk perkara gugatan bantahan masih dalam tahap mediasi. Sementara untuk gugatan perkara PPJB, mediasi sudah dilaksanakan, tidak ada titik temu. Sehingga dilanjutkan dengan sidang pokok perkara,” paparnya.
Fexa menyampaikan mengingat oligarki hukum sudah mampu mempermainkan peradilan dan keadilan, maka dirinya akan terus berjuang sampai kapan pun untuk merebut kembali hak-haknya yang sudah dirampas.
“Uang muka pembelian tanah tidak pernah dibayarkan, lahan seluas 20 hektar lebih beserta bangunan yang berdiri di atasnya dirampas oleh orang yang tidak berhak memilikinya,” pungkas Fexa. (hyd)
Discussion about this post