Jurnalis.co.id – Proses hukum kasus korupsi lahan perkantoran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sekadau berakhir sudah. Pasalnya, setelah seluruh terdakwa mendapatkan vonis berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Tipikor Pontianak.
Terdakwa terakhir yang menjadi terpidana adalah Chan Indra alias A Koo. Dalam sidang putusan yang dilakukan di Pengadilan Tipikor Pontianak, 16 Januari 2020 lalu, Chan dijatuhi kukuman 10 tahun penjara.
“Persidangan dilakukan dengan in abstentia atau tanpa kehadiran terpidana. Hingga sekarang kita masih mencari keberadaan terpidana,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sekadau Andi Irawan disela silaturrahmi dengan sejumlah wartawan yang tergabung dalam Ikatan Wartawan Sekadau (IWAS) di kantornya, Selasa sore (4/2/2020).
Selain pidana 10 tahun, dalam putusan bernomor 17/Pid.Sus/TPK/2019/Pn.Ptk itu, Chan juga dikenakan denda sebesar Rp 500 juta. Apabila tidak dibayarkan, diganti dengan pidana kurungan selama 9 bulan. Terdakwa juga harus membayar uang ganti rugi sebesar Rp 18.429.512.446.
“Ganti rugi ini paling lambat harus dilunaskan sebulan pasca putusan hukum yang berkekuatan tetap dikeluarkan (vonis) dan akan diganti penjara 2 tahun apabila tidak dibayarkan,” paparnya.
Selama proses persidangan, terdakwa memang tidak bisa dihadirkan. Chan juga tidak menunjuk pengacara.
“Ini merupakan terpidana terakhir. Tujuh terpidana lain sudah divonis hukuman,” jelasnya.
Untuk diketahui, kasus korupsi lahan perkantoran Pemkab Sekadau bermula saat kabupaten tersebut terbentuk. Sekadau menjadi daerah otonomi baru setelah pemekaran dari Kabupaten Sanggau pada 18 Desember 2003.
Tahun 2005, Chan menawarkan tanah dengan luas 207 hektare yang kini menjadi lahan perkantoran Pemkab Sekadau. Ia mendapat bayaran Rp23 miliar dari Pemkab Sekadau untuk membebaskan tanah tersebut.
Namun, yang menimbulkan terjadinya dugaan korupsi adalah selisih antara biaya ganti rugi tanah dengan nilai jual objek pajak (NJOP) di atas tanah tersebut. Pemkab Sekadau mengganti rugi dengan nilai Rp13.075 per meter persegi. Sedangkan NJOP tanah pada waktu itu berada di angka Rp 400 per meter persegi.
Kasus ini bergulir setelah adanya laporan dari masyarakat ke Kejaksaan Agung (Kejagung) di tahun 2011. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Pontianak pun menyatakan ada potensi kerugian negara. Bahkan untuk terpidana Chan, diduga merugikan negara hingga lebih dari Rp 18 miliar.
Selain Chan, tujuh terpidana lain sudah diberikan hukuman sesuai tingkat kesalahannya. Ketujuhnya berinisial Ir Sl, Abg AY, Abl MH, Her Py, Rmln S, Bjg AS, dan Ir Suy.
Andri menegaskan, sejak kasus itu bergulir, Chan yang diketahui tidak tamat SD itu sudah menghilang. Dirinya hanya sempat satu kali diperiksa saat masih jadi tersangka.
“Setelah itu langsung menghilang hingga sekarang. Bahkan tahun 2013, sudah masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) yang dikeluarkan Mabes Polri,” terangnya.
Meski raib, namun Chan yang merupakan warga kelahiran Sekadau, 05 Mei 1951 itu diketahui memiliki sejumlah tanah. Tanah itu sudah disita.
“40 hektar jadi aset Pemda, sedangkan 10 hektar lagi dirampas untuk negara,” bebernya.
Kendatai begitu, 50 hektare tanah milik pria yang pernah menjadi Direktur PT. Sinar Bintang Sakti itu belum mampu menutupi kerugian negara yang ditimbulkannya.
“Karena itu kepada masyarakat yang mengetahui keberadaan terpidana atau mengetahui keberadaan aset milik terpidana, diharapkan bisa melaporkan kepada kita agar bisa dilakukan penyitaan,” demikian Andri. (suk)
Discussion about this post